Agak nggak sabar waktu ngetik ini.. karena sebenernya ini cerita lama yang mendekam di otak. Kalau nggak salah sudah hampir dua tahun *tepuk tangan*, tapi karena terlalu banyak yang mengendap di otakku, proses pengeluarannya butuh waktu.. haha.. tapi untunglah sudah sampai sini.. paling tidak hanya butuh satu part lagi untuk menyelesaikannya.. #wish
Jadi.. selamat membaca dan doakan saya sanggup membaca teori-teori untuk ujian saya minggu depan yak!serta diberi kesabaran ekstra untuk menghadapi beragam bentuk anak manusia itu *mulai emosi lagi* doakan saya ^_^ #ala benteng takeshi
Selamat malam.. Selamat membaca
Jadi.. selamat membaca dan doakan saya sanggup membaca teori-teori untuk ujian saya minggu depan yak!
Selamat malam.. Selamat membaca
Seperti alat perekam, otak Dinar
memutar rekaman tentang semua perkataan Uli padanya di Pantai Widuri tadi.
Bahkan telinganya seakan bisa menangkap suara Uli yang berbicara kepadanya
secara langsung.
“Aku sudah memandangmu dari dulu,
Din. Kamu itu gravitasiku. Ingat setelah kita sama-sama masuk SMP, dan aku
sering bermain basket di lapangan dekat rumahmu? Itu karena aku ingin
melihatmu. Tapi kamu begitu tak terjangkau..”
Dinar ingat. Dulu, dia suka
sekali sengaja melintas di dekat-dekat lapangan yang Uli maksud. Berkata bahwa
dia hanya ingin sekedar jalan-jalan, dan saat melintas di dekat-dekat lapangan
itu, dia akan mencuri-curi pandang ke arah Uli. Beberapa kali mata mereka
bertemu dan Dinar sengaja membuang pandangannya.
“Selalu saja matamu itu seolah
tidak mengenalku, padahal aku sudah berharap kamu akan datang mendekat atau
hanya sekedar melambaikan tangan padaku. Tapi rupanya harapanku itu terlalu
tinggi.” Dinar melirik sekilas, dilihatnya Uli tersenyum getir.
Lalu Uli kembali melanjutkan
ucapannya, “Bahkan aku sampai harus mengorek informasi dari Aris dan merelakan
uang sakuku untuk membeli seporsi sotonya hampir setiap hari – kamu tahu kan,
teman kita yang satu itu lebih suka kita makan ditempatnya dari pada ditraktir
makan dimanapun tempatnya.” Dinar mengangguk, Aris memang sangat loyal pada
warung soto milik orang tuanya, dia sering kali memaksa siapapun yang
dikenalnya untuk makan diwarungnya, katanya sebagai tambahan pemasukan. “Padahal
kamu tahu, aku tidak begitu suka dengan soto. Tapi demi mendapatkan informasi
tentangmu, aku rela melakukannya.” Aku memang satu SMP dengan Aris. “Katanya
kamu masih galak dan pintar.”
“Semakin hari aku semakin gila
karena hanya bisa memandangmu dari jauh. Kamu tahu?” dia memaksakan tawa hambar,
“Kamu ingat aku jadi dekat dengan tetanggamu karena ingin melihatmu.”
“Dan kamu jadi terlihat nakal.” Cetus
Dinar.
“Hahaha,” suara tawanya kali ini
terdengar lebih baik. “Tetanggamu itu yang meracuniku. Ditambah lagi kamu
selalu membenamkan wajahmu ke buku yang selalu menyita perhatianmu.” Uli menghela
napas dengan berat. “Kamu tahu, aku ingin memanggilmu dan berkata berhentilah
memandangi bukumu saat kamu jalan, itu berbahaya. Tapi lagi-lagi aku tidak
berani. Kamu sudah terlalu tidak terjangkau.”
Ya, memaksa tetap membaca saat
berjalan itu memang berbahaya. Dinar tahu resikonya. Dia pernah dengan sukses
menabrak tiang listrik dan menjadi bahan tertawaan. Tapi bukan Dinar jika dia
menutup bukunya.
“Aku frustasi. Dan rasa
frustasiku kulampiaskan pada hal-hal yang salah.”
Dinar tidak menyukai apa yang
terlintas di pikirannya saat mendengar pengakuan Uli yang terakhir.
“Tetanggamu itu memang nakal,
tapi kamu tahu, teman-temannya jauh lebih nakal lagi.”
Yadi, itulah nama tetangga yang
sejak tadi disebut-sebut Uli. Dinar mengenalnya, dan dia tahu riwayat
pergaulannya, Walau cuma sedikit, karena dia tidak tertarik. Tapi mendengar Uli
berkata begitu, mau tidak mau Dinar jadi tertarik.
“Jangan katakan apapun lagi.” Kata
Dinar lirih. Tiba-tiba saja matanya panas mendengar cerita Uli.
“Ya, aku semakin mengenal dunia
mereka, dunia teman-teman tetanggamu itu. Jangan pikir dia buruk, karena kamu
tahu aku justru lebih buruk darinya.”
Tes.
Dinar mengalihkan wajahnya
kesamping, agar Uli tidak melihatnya yang sudah meneteskan air mata. Untung saja
Uli juga sedang memandang laut lepas di hadapannya dengan pandangan kosong.
“Jadi karena aku?” Tanya Dinar
terbata.
Uli menggeleng, “Bukan karenamu. Tapi
karena diriku sendiri. Aku yang tidak berani mendekatimu, aku yang memilih
mereka sebagai temanku.”
Lalu dia kembali melanjutkan, “Tapi
kemudian, saat aku sedikit terlena dengan candu lain selain dirimu, kembali aku
dipertemukan dengan tatapan galakmu itu.” Uli terkekeh, dan Dinar tidak tahu
apa yang sedang Uli bicarakan. “Pendidikanku hancur, SMAku berantakan, dan
hidupku pun tidak memiliki tujuan. Untungnya Tuhan masih sayang padaku, karena
lalu aku kembali dipertemukan denganmu.
“Aku iri denganmu. Bukankah aku
ini tidak kalah pintar darimu? Tapi kenapa hanya kamu yang bisa pergi merantau
untuk kuliah? Kenapa diantara kita – yang terpintar di kelas – hanya satu yang
bisa kuliah. Apakah kamu ingat, dulu aku pernah mengatakan padamu cita-citaku,
aku ingin menjadi seorang arsitek? Aku melupakannya, tapi saat melihatmu waktu
itu tiba-tiba saja cita-cita itu kembali menghantamku.
“Aku ingin kembali, tapi aku
sudah berjalan terlalu jauh. Sampai akhirnya Ayah tahu semua perbuatanku, dan
aku dikirim ke panti rehabilitasi.”
Dinar tidak mampu menahan
isakannya. Hingga membuat Uli menghentikan ceritanya, dan menatap Dinar ragu.
“Maaf, maaf..” bisik Dinar dengan
suara bergetar.
“Stt.. sudah kubilang itu bukan
salahmu, itu salahku. Bukankah pada akhirnya kamu yang menyelamatkanku? Kalau waktu
itu aku tidak melihatmu, aku tidak yakin kita akan duduk berdua disini, dan aku
membuka rahasia masa laluku padamu.” Katanya sambil tersenyum.
Dinar tidak menyangka, senyum
yang selalu diingatnya itu pernah menyimpan kenangan getir. Pantas saja saat
Uli pertama kalinya datang ke rumahnya kemarin lusa – sewaktu mengajaknya untuk
berkencan sekaligus mengantarkan undangan – ada luka yang seolah tersirat dalam
matanya.
“Aku hampir menyerah, Dinar. Aku hampir
menyerah. Beberapa kali aku mencoba mengakhiri hidupku,” ucapan Uli membuat Dinar
bergidik, “mengingatmu saja sepertinya tidak cukup menguatkanku. Candumu tidak
bisa mengurangi rasa hausku. Sampai akhirnya aku bertemu dengannya.” Katanya sambil
tersenyum.
Dia yang dimaksud Uli adalah
gadis yang akan dinikahinya. Gadis yang namanya tertera di undangan pernikahan
Uli. Andini. Nama yang cantik. Terkesan lembut dan perhatian.
Andini satu tahun lebih muda
darinya dan Uli. Dia menjadi volunteer dip anti rehabilitasi tempat Uli
dirawat. Dan Andini yang membantu Uli melewati masa-masa sulitnya.
“Ya, kalian adalah dua wanita
yang penting bagiku setelah Ibu. Karenamu aku kembali memikirkan masa depan, dan
karena Andini aku ingin memiliki masa depan.”
©©©