Jadi,
kenapa dia lakukan ini?
Apa
yang dia inginkan dariku?
Aku
lelah dan terlalu lelah
Aku
tidak mau berada dalam posisi seperti ini. Posisi serba salah dan akan selalu
dipersalahkan.
Tolong,
bebaskan aku. Lepaskan aku dari jerat semu yang membelenggu
Hentikan
dia dan sikapnya yang terus mengikatku
Jika
dia bersikap seperti ini, aku dan diriku akan tetap terkurung dalam angan yang
membuai
On June, 30th
=.=.=
Hampir
dua minggu aku tidak menegurmu ataupun menyapamu. Aku tidak akan berkata
apa-apa kepadamu jika bukan kamu yang memulai. Dan kamu cukup pintar untuk
tidak memulai percakapan apapun diantara kita. Sepertinya kamu sadar sepenuhnya
bahwa aku sengaja menghindarimu. Silahkan katakan aku ini menyedihkan. Memang.
Tapi
rupanya Sang Kuasa enggan membiarkan kita berlama-lama saling berdiam. Karena
kemudian takdir-Nya mempertemukan kita dalam satu situasi yang membuat kita
harus berada dalam ruangan yang sama, saling berinteraksi.
Aku
merutuki diriku yang dulu dengan naifnya mengiyakan permintaan – lebih tepatnya
permohonan – mu untuk ikut berpartisipasi dalam organisasi mahasiswa ini. Dulu
pikirku karena ada dirimu, seseorang yang aku kenal dan mengenalku, maka
semuanya akan jadi lebih mudah dan menyenangkan. Tapi dengan keadaan kita
sekarang, itu sulit.
Kamu
menawarkan diri sebagai tuan rumah dalam rapat evaluasi merangkap rapat akhir
sekaligus persiapan pelepasan jabatan kepengurusan periode yang kita pegang.
Ingin sekali aku mangkir, tapi apa kata semua orang jika aku sengaja alpa dari
kewajibanku. Apalagi jika mereka tahu apa alasanku yang sesungguhnya.
Sepertinya rasa jaim yang menggunung
adalah sebuah boomerang yang
menyengsarakan.
“Jangan
lupa, Ran, nanti jam empat sore di rumah Trisna.” Kata Yudhi mengingatkan.
“Iya,
iya.. mana mungkin sih aku lupa.” Jawabku. Benar mana mungkin aku lupa, karena
saking inginnya aku melupakannya justru semakin dalam terukir dalam memori
otakku yang kadang menderita amnesia akut.
“Sip
deh kalau begitu.” Dan Yudhi pun berlalu.
Sial.
=.=.=
Ini
kedua kalinya aku berkunjung ke rumahmu. Rumah yang asri. Banyak pot-pot kecil
– berjejer di beranda dan bergantungan – berisi bunga anggrek beraneka warna.
Bunga yang yang namanya kamu sadur untuk memanggilku.
“Saya
Ran, Tante.” Ini kedua kalinya aku memperkenalkan diri pada ibumu. Bukan sebuah
kejutan, karena kedua orang tuaku juga selalu bertanya “Siapa namanya, Dik?” pada
teman-temanku yang dating ke rumah hingga minimal mereka absen 10 kali. Rupanya
orang tua kita memiliki gejala sindrom
lupa-nama-teman-anak-yang-jarang-berkunjung yang sama.
“Oh,
Ran adalah sebutan lain untuk anggrek. Karena ini Indonesia, harusnya kamu
dipanggil ‘Anggrek’ saja.” Komentar ini sudah sering aku dengar darimu. Dan aku
hanya bisa tersenyum menanggapi gurauan kalian yang sama. Buah memang terjatuh
tidak jauh dari pohonnya.
Aku
menyendiri di sudut ruang tamu rumahmu, enggan bergabung dalam kelompok besar
yang bergerombol di tengah ruangan. Menyebalkan. Aku tidak suka menyendiri,
tetapi kamu menjadi pusat aktivitas disitu, terpaksa aku menyepi.
“Aku
butuh konsentrasi. Kalian bercanda terus disitu.” Alasanku.
Belum
genap satu jam aku tiba di rumahmu, kekasihmu yang cantik itu sudah menyusul
kemari. Kenapa? Apakah dia takut kalau aku mencurimu darinya?
Katakan
padanya untuk tenang saja, karena aku masih memiliki jiwa seorang wanita. Aku
pun tidak akan pernah rela kalau kekasihku direbut oleh orang lain.
“Hai,
Ran.” Dia menyapaku dengan riang. Oh ya, dia tentu tidak tahu tentang
perasaanku padamu kan? Kecuali dia seorang cenayang yang tahu isi pikiran
orang.
“Hai,
Bulan. Lama nggak ketemu.” Aku ikut berbasa-basi. Padahal enggan rasanya aku
terus-menerus memasang wajah tak ada masalah seperti ini. Aku merasa seperti
penipu.
“Nih,
aku bawain roti bikinanku sendiri, buat kalian semua.”
Senangnya
kamu memiliki kekasih sepertinya. Bahkan dengan berat hati aku harus
membenarkan komentar semua orang yang memuji keterampilan kekasihmu.
Lalu
dia beralih padamu, “Ini buat Ibu.” Dia berkata dengan senyuman.
Ada
apa denganmu? Kenapa kamu tidak menanggapi sikap kekasihmu dengan baik
sebagaimana yang seharusnya?
Dia
mengikutimu masuk ke dalam. Beberapa saat kalian di dalam. Entah apa yang
kalian bicarakan. Aku penasaran. Tapi aku tidak ingin tahu. Tidak jika itu akan
semakin membuatku terluka.
Hampir
setengah jam lamanya kalian di dalam. Bukan hanya aku yang penasaran dengan apa
yang terjadi dengan kalian. Tetapi hanya aku yang tidak menyuarakan keheranan
apapun.
Kalian
keluar. Kami pura-pura sibuk dengan pekerjaan kami. Mengacuhkan kalian,
walaupun sangat terlihat kecanggungan kami.
Rahang
wajahmu mengeras.
Mata
kekasihmu memerah.
Jangan
katakan padaku kalian habis bertengkar. Jangan katakan apapun, karena aku akan
merasa senang di atas penderitaan kalian.
Kekasihmu
mendekatiku. “Lagi sibuk ya?” tanyanya. Suaranya sedikit sengau. Dia
benar-benar habis menangis.
“Kenapa?”
aku tidak mengharapkan kamu mengatakan apapun padaku.
“Anterin
keluar yuk,” bisiknya. “Aku pulang dulu ya..”
Terpaksa
aku menurut dan bangkit berdiri mengantarnya sampai depan rumahmu. Kamu ikut
berdiri juga.
Di
depan, dia menangis di hadapanku.
“Kamu
kenapa?” tanyaku.
Dia
tidak menjawab, hanya terus menangis.
“Aku
nggak papa, Ran. Makasih ya.” Lalu dia berlalu dengan motor maticnya.
Aku
masih berdiri menunggu sosoknya menghilang di balik tikungan.
“Ran,”
kamu memanggilku. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama kamu memanggil
namaku. Ran. Bukan Anggrek.
“Apa
yang terjadi padanya?” akhirnya aku mengakhiri perang dingin diantara kita.
“Nggak
papa kok. Perasaannya lagi sensitif.” Jawabmu, yang sepenuhnya kuyakin bukan
jawaban yang sejujurnya. Sudahlah, toh sudah kutegaskan tadi aku tidak ingin
jawaban jujur.
“Kami
sama-sama jenuh.”
Sudah
kukatakan aku tidak ingin mendengar jawabanmu yang sebenarnya!
Aku
segera masuk ke dalam rumahmu. Mengacuhkanmu yang masih berdiri di teras rumah.
=.=.=