Minggu, 07 November 2010

POSESIF

Aku bingung memikirkan tentang Zena, pacarku. Aneh saja rasanya, setelah sekian lama aku berpacaran dengan banyak gadis, baru dengan Zena lah aku dibuat pusing. Aku tidak mengerti dengan jalan pikiran gadis yang telah kupacari selama lima bulan itu.
Setahuku, sebagaimana pengakuannya, aku ini adalah pacar pertamanya. Lucu juga saat mendengar hal itu, karena aku sendiri telah memacari lima belas orang gadis sebelum Zena, atau bahkan mungkin lebih. Tapi ternyata pengalamanku sebagai “playboy” masih kurang bila berhadapan dengan Zena. Bukan, bukan karena dia manja atau memiliki sifat yang tidak kusuka. Hanya saja, bagaimana aku menyebutya, mungkin sedikit tidak masuk akal.
Zena baik, cantik, pintar, ramah, sopan, dan secara keseluruhan dia nyaris sempurna. Itu yang membuatku memutuskan pacar kelima belasku dan mulai mendekati Zena. Tapi ternyata ada sifat lain Zena yang baru aku ketahui setelah kami resmi berpacaran. Dan itu tidak bisa disebut sebagai sifat jelek. Aku menyebutnya lebih dari sekedar baik, terlalu baik malah.
Namun karena kebaikannya yang terlalu berlebih itulah aku jadi tidak tahu bagaimana perasaan Zena yang sebenarnya padaku. Padahal aku sudah terlanjur teramat sangat sayang padanya. Bagaimana kalau ternyata rasa sayangku itu bertepuk sebelah tangan? Aku tidak mau hal itu terjadi. Aku ingin perasaanku berbalas. Aku ingin kami sama-sama saling menyayangi.
Pernah suatu hari aku janjian dengan Zena di kafe langganan kami. Dan tanpa sengaja kami bertemu dengan Sara, salah satu mantan pacarku saat aku baru tingkat pertama (total aku berpacaran dengan tiga orang gadis pada tahun pertama kuliah, tentu saja tidak dalam waktu yang bersamaan). Aku sama sekali tidak tahu kalau ada Sara disana, karena dia yang menyapaku lebih dulu (kalau aku yang melihatnya lebih dulu, aku pasti akan lagsung mengajak Zena pergi dan mencari tempat lain). Dan setelah tahu yang memanggilku itu Sara, Zena malah meminta agar kami bergabung dengannya (Zena memaksaku bercerita tentang semua mantan pacarku).
Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana waktu itu. Karena Zena dan Sara yang menguasai pembicaraan. Lebih tepatnya Zena lah yang menguasai dan mengandalikan pembicaraan. Zena banyak bertanya tentang masa laluku dengan Sara. Bisa kulihat, Sara sangat tidak nyaman tapi berusaha bersikap sopan. Berkali-kali dia melirik padaku meminta bantuan, tapi aku sama sekali tidak bisa membantunya. Aku sendiri juga merasa tidak nyaman.
“Sara baik ya, kenapa dulu kalian bisa putus?” pertanyaan Zena waktu itu membuatku tersedak. Apa yang sedang dia pikirkan? Seolah aku ini bukan pacarnya saja. Seolah hubungan kami hanya sekedar teman biasa. Sejak saat itu aku mulai merasa cemas, jangan-jangan Zena tidak memiliki rasa sayang untukku.
Dia juga tidak pernah terlihat cemburu melihatku dekat dengan gadis lain. Padahal dulu Anggi, salah satu mantan pacarku yang lain, mendiamkanku selama satu minggu hanya karena aku menyapa seorang cewek tetanggaku. Kata orang, cemburu adalah tanda cinta. Apakah itu artinya Zena yang tidak pernah cemburu itu tidak mencintaiku?
Sebagian besar mantan pacarku adalah tipe pencemburu. Bahkan terkadang cenderung posesif. Dan kalau tidak salah, sikap posesif itulah yang menyababkanku ingin putus. Tapi sekarang aku aku malah berharap agar Zena bersikap posesif padaku. Hahaha.. terdengar aneh memang.
Oh ya, pernah juga Anggi terus menerorku lewat SMS dan telepon. Katanya dia ingin agar hubungan kami bisa kembali seperti dulu. Aku tidak mau menggubrisnya. SMS-SMSnya tidak pernah aku balas dan telepon-teleponnya tidak pernah kuterima. Bagaimanapun aku masih bisa menjaga perasaan Zena, sehingga aku tidak bercerita padanya.
Sayang, Anggi tidak pernah menyerah. Dia terus saja mencoba menghubungiku. SMS tidak kubalas, dia menelepon. Celakanya dia mengirimiku SMS dan meneleponku saat aku sedang bersama Zena. Kupikir Zena akan marah mendengarku menyebut nama Anggi. Ternyata tidak. “Angkat aja, mungkin ada yang penting.” Katanya lembut tanpa kehilangan senyuman yang selalu terkembang di wajahnya.
Aku dibuatnya kehilangan kata-kata. Dibawah tatapan mata coklatnya yang terang, aku seperti ditembus sinar X-ray. Aku menurut. Kuterima telepon Anggi setelah dering kelima dengan masih di X-ray oleh mata Zena. Dengan terbata, kujelaskan pada Anggi bahwa aku tidak bisa memenuhi permintaannya. Zena tidak tersenyum, tetapi juga tidak terlihat menahan marah. Ekspresinya sulit untuk dijelaskan.
Zena juga sering membawakanku bekal makan siang. Aku merasa tidak enak, karena dengan begitu dia bertambah repot. Seharusnya aku senang, tapi itu tadi, aku tidak mau merepotkannya.
“Aku nyiapinnya sekalian waktu nyiapin sarapan, jadi ngak repot. Kamu kan jadinya bisa ngirit uang bulanan.” Elaknya mendengar protesku. Lagi-lagi aku mengalah.
Seringkali aku dibuat cemburu karena dia dekat dengan beberapa teman lelakinya satu jurusan. Zena baik dan ramah, banyak orang yang suka menjadi teman dekatnya. Ditambah lagi dengan paras dan penampilannya yang menarik. Sudah jadi rahasia umum, banyak yang patah hati karena pada akhirnya Zena jatuh ke pelukan playboy sepertiku. Harusnya aku sadar akan keberuntunganku, tapi aku tetap terbakar melihatnya beramah tamah dengan lelaki lain.
“Lu ngelamunin siapa?” tiba-tiba Raka, teman satu kostku, mengagetkan.
“Ah, lu ngagetin aja.” Aku tak menjawab pertanyaannya.
“Lu lagi ngelamunin siapa?” Raka mengulangi pertanyaannya.
Aku diam tak menjawab.
“Zenita.” Tebaknya tak sabar, seratus persen tepat. Zenita adalah nama Zena, tapi dia lebih suka dipanggil Zena.
Aku mangangguk.
“Kenapa?” tanyanya lagi lalu duduk disampingku.
Raka adalah kakak tingkatku. Umurnya lebih tua dua tahun dariku. Rencananya tahun ini dia akan menyelesaikan skripsi.
“Gua bingung mikirin perasaan Zena yang sebenernya ke gua.” Aku mulai bercerita tentang masalahku pada Raka.
Raka diam. Menungguku bicara sampai selesai. Dia sangat baik, walau aku sering membuatnya pusing dengan ulahku. Lima bulan terakhir aku benar-benar bersyukur telah mengenalnya. Dia banyak membantuku dan mau mendengarkan semua keluh kesahku serta memberikan saran dan masukan yang membangun. Aku ini anak tunggal, sehingga keberadaan Raka bagaikan kedatangan seorang kakak diusiaku yang menginjak dua puluh tahun.
“Dia sama sekali nggak pernah kelihatan cemburu sedikit pun setiap kali gua deket sama cewek lain..”
“Bukannya lu pengen dikasih kebebasan? Dulu waktu lu sama Anggi, lu nggak suka dikekang, kan?”
Raka tahu sejarahku dengan Anggi yang hanya bertahan dua bulan.
“Iya, tapi kalo Anggi itu posesif. Dia nganggep gua kayak barang miliknya. Itu yang nggak gua suka.” Aku mendesah pelah, “Kalo’ ini.. Zena sama sekali nggak ada cemburu-cemburunya sedikit pun.” Aku melanjutkan.
Raka manggut-manggut. Menyemburkan asap keputihan dari sela-sela bibirnya. Telunjuk dan jari tengah tangan kanannya mengapit sebatang rokok. Satu hal yang tidak kusuka dari Raka, dia perokok berat. Aku sendiri tidak suka merokok. Tanpa rokok pun paru-paruku sudah bermasalah sejak kecil.
“Tapi kalo’ Zena yang posesif, kayaknya gua bisa nerima deh,” aku berandai-andai. Dalam hitungan detik, kepalaku langsung menerima sebuah jitakan dari Raka.
“Sekarang lu bisa bilang gitu, tapi nanti kalo’ dia jadi posesif beneran, lu jadi ilfil lagi.”
“He..he..he..” aku tertawa cengengesan.
“Coba deh, lu bayangin cewek lu si Neeta, nggak pernah sedikit pun cemburu kalo’ lu deket sama cewek lain. Lu sendiri kan yang bakalan bingung, Neeta beneran sayang nggak sama lu..”
Sudah dua tahun Raka dan Neeta berpacaran. Kalau semuanya lancar, tahun depan mereka akan bertunangan. Aku salut pada Raka. Meskipun kadang bersikap seenaknya, dia adalah tipe cowok yang menjunjung tinggi kesetiaan pada pasangan. Sangat berbeda denganku yang masih suka lirik kanan kiri walau ada gandengan. Baru dengan Zena lah aku sedikit tersadarkan.
“Ya.. emang sih, kadang Neeta kelihatan cuek bebek. Tapi beberapa kali dia ngaku sempet cemburu gua deket sama Mila dan cewek-cewek yang lain.”
Lihat, pasangan yang menurutku paling pengertian sedunia pun masih disisipi perasaan cemburu. Itu tandanya mereka saling sayang. Sedangkan aku.. ah, jangan-jangan ini balasan dari Tuhan karena dulu aku sering mempermainkan perasaan wanita.
“Coba deh, lu omongin sama Zenita secara baik-baik. Gua tahu, kalian udah sama-sama gede.” Nasihat Raka pada akhirnya.
Aku menghembuskan napas panjang. Sesak karena cukup banyak asap rokok yang masuk kedalam dadaku.
“Nanti gua coba.” Putusku.
♥ ♥ ♥
Aku sudah sangat hafal dengan pemandangan dihadapanku ini. Sebuah taman kecil yang tidak begitu luas tampak tertata rapi an terawat. Zena yang merawatnya. Hanya berjarak dua meter dari teras tempatku berada sekarang, terbentang jalan beraspal yang manghubungkan gang ini dengan jalan rara didepan sana lima puluh meter jauhnya. Rumah Zena memang terletak di perkampungan biasa. Katanya, orang tuanya tidak suka dengan lingkungan perumahan yang individualis.
Rumah ini tidak besar, tapi tidak bisa juga disebut kecil. Disamping rumah, masih ada ayunan dari besi tempa tempat Zena bermain sewaktu kecil dulu. Sebagian dinding depannya ditempeli dengan batu alam warna hitam yang memberi kesan kokoh. Tidak ada tiang panyangga disini, karena orang tua Zena sangat peduli dengan keselamatan anak-anak mereka yang suka berlarian. Sebagai gantinya empat buah kuda-kuda yang terbuat dari kayu jati menyangga atap teras. Zena kecil memasangi tiap-tiap kuda-kuda dengan untaian manik-manik hasil karyanya. Tidak ada pagar yang membentengi rumah ini dan taman kecilnya. Tidak peduli dengan rumah-rumah lain disekitar sini yang telah berpagar, orang tua Zena (lagi-lagi) tidak suka merasa dibatasi dan terisolir dari tetangga.
Zena keluar dengan membawa sebuah nampan berisi dua cangkir cokelat hangat dan sepiring kue. Aku sudah bisa menebak isi cangkir itu adalah cokelat hangat bahkan sebelum aku melihatnya. Aromanya sudah sangat kuhafal. Zena sudah berpuluh-puluh kali menyuguhkannya cokelat hangat setiap kali aku datang kemari. Zena adalah pecinta cokelat.
Ah, kue ini baru pertama kali aku rasakan. Aku yakin, Zena pasti belajar resep baru dan mempraktikkannya. Harus kuakui, kepiawaiannya dalam seni mengolah makanan dan masakan adalah salah satu sebab yang telah membuatku menyukainya.
“Kuenya enak, resep baru ya?” aku berbasa-basi.
Zena mengangguk, “Iya, kemaren dikasih tahu sama Mbak Inez.” Mbak Inez adalah kakak ipar Zena. Mereka sangat akrab karena memiliki hobi yang sama.
“Kamu suka? Kalo’ gitu, nanti bawa ke kost ya.. oleh-oleh buat temen-temen..” dan sebelum aku bisa mencegah, tubuh rampingnya sudah menghilang dibalik pintu.
Dinginnya angin malam menerpa wajahku. Tanganku bergerak meraih pegangan cangkir dan menyesap isinya perlahan. Nikmat. Hangatnya menjalar dari tenggorokangku hingga keseluruh tubuh.
Zena kembali muncul. Tubuhnya dibalut sweeter coklat, warna yang cocok dengan warna matanya. Rupanya Zena juga merasa malam ini dingin. Untung saja aku mengurungkan niat untuk mengajaknya pergi keluar malam ini. Aku tidak mau mengambil resiko membuat Zenaku jatuh sakit. Lihat, aku mulai posesif. Menganggap Zena adalah barang yang aku miliki.
“Kok diem?”
Aku yang sedang mengamati betapa cantiknya dia dengan rambut panjang terurai, kaget dibuatnya.
“Ah..eh..” aku tergagap, “anu..itu..”
“Hi..hi..hi..” Zena menertawakanku dengan suara tawanya yang mirip seperti suara tawa anak kecil. Menambah daya tariknya dimataku.
“Mbak, disuruh makan dulu sama Ibu.. sama Mas Indra sekalian.” Mbak Yah yang tiba-tiba muncul mengagetkanku dan Zena. Hanya sebentar, karena setelah kepergian Mbak Yah, Zena menarik tanganku dengan sigap. Mengajakku masuk.
“Assalamu’alaikum.. Pak.. Bu..” sapaku setelah masuk ke ruang makan, “malem Mas..” tambahku melihat kakak lelaki kedua Zena.
Aku memanggil orang tua Zena dengan sebutan Bapak dan Ibu karena itu permintaan Zena. Dia tidak suka orang tuanya dipanggil Oom dan Tante karena menurutnya konotasinya jelek.
Zena sudah sering membawaku makan malam bersama keluarganya. Bahkan bila dia tahu jika aku belum dikirimi uang, dia akan memaksaku makan di rumahnya.
“Ndra, terima kasih ya..” kata Ibu tiba-tiba. Zena sedang menyingkirkan piring-piring kotor kebelakang. Hanya tersisa aku, kedua orang tuanya, dan kakaknya.
Belum sempat aku bertanya kenapa, Ibu sudah menambahkan, “Berkat kamu, Zena bisa bangkit lebih cepat dari yang bisa diharapkan..”
“Tadinya kami sempat khawatir, zena paling dekat dengan Affan, dia yang paling merasa kehilangan sepeninggal Affan..”
Affan adalah kakak ketiga Zena. Zena sendiri merupakan bungsu dari empat bersaudara. Dibesarkan dalam kultur keluarga yang mayoritas laki-laki membuat sikapnya susah ditebak dan berubah-ubah. Kadang dia terlihat begitu manja, tapi kadang dia terlihat begitu tegar dan dewasa. Karena perbedaan usia yang tidak begitu jauh, membuat Zena paling dekat dengan Affan.
Aku bisa tahu karena aku sempat mangenalnya walau hanya sebentar. Aku pun bisa merasakan bagaimana saling sayangnya mereka berdua. Aku tidak boleh cemburu waktu itu, karena itu adalah hak mereka untuk saling menyayangi sebagai saudara.
Hanya dua bulan aku mengenal Affan. Sebulan setelah aku berpacaran dengan Zena, Affan meninggal karena kecelakaan. Waktu itu, Zena sangat sedih dan terpukul. Aku sendiri cukup merasa kehilangan, apalagi Zena yang adalah orang terdekatnya.
“Saya hanya membantu Zena semampu saya. Pada dasarnya Zena adalah gadis yang kuat dan tegar.”
♥ ♥ ♥
“Tadi kalian pada ngomongin aku ya?” Zena mulai mengintrogasiku setelah kami berdua kembali ke teras.
“Ge-er kamu, siapa juga yang ngomongin kamu..” elakku sambil mencubit pipinya.
Aku sangat bersyukur bisa melihatnya kembali bersemangat setelah ditinggal Affan. Tadinya kupikir akan butuh waktu lama untuk bisa memulihkannya seperti sedia kala.
“Zen, sebenernya kamu sayang nggak sama aku?” tanyaku tiba-tiba menghentikan ceritanya tentang resep baru yang akan dia praktikkan besok.
Mata bulat Zena memicing. Hal yang selalu dia lakukan setiap kali aku ketahuan tidak mendengarkan ceritanya.
“Zenita..” aku memanggil namanya. Menandakan bahwa aku sedang serius.
Zena kembali ke sikapnya yang semula. Punggungnya tegak dan wajahnya mulai terliahat serius.
“Kenapa kamu ngomong gitu?” tanyanya curiga.
Aku menarik nafas dalam. Tahu akan ada perubahan pada nada ucapannya.
“Karena aku sayang sama kamu, dan aku nggak mau kamu merasa terpaksa jalan sama aku.. aku pengen kita ngerasain hal yang sama dalam menjalani semua ini..”
Zena diam. Sepertinya dia sibuk memikirkan ucapanku yang keluar dari kebiasaan.
“Siapa bilang aku merasa terpaksa jalan sama kamu?” ujarnya setelah sepuluh menit dalam kebisuan.
Aku terperangah tidak mengerti ucapannya.
“Indra, aku sayang sama kamu.. sama seperti sayangnya kamu ke aku..” tuturnya lembut dan meraih tanganku yang tergeletak diatas meja kedalam genggaman tangannya.
Kurasakan seolah-olah ada aliran energi yang tersalur dari tangannya ke tanganku, lalu menyebar keseluruh tubuh. Hatiku sedikit merasa tenang.
“Tapi..”
“Tapi apa?” potongnya cepat.
Aku mencoba memilih kalimat yang tepat, lalu kemudian..
“Tapi kenapa kamu nggak pernah merasa cemburu tiap kali aku jalan sama cewek lain?”
Zena diam. Kepalanya menunduk. Genggaman tangannya sudah tidak seerat tadi. Rambutnya yang lurus panjang jatuh terkulai, menghalangi pandanganku dari raut wajahnya. Aku mulai merasa takut.
“Aku selalu cemburu..” katanya setelah lewat lima belas menit.
Wajahnya yang tadi menunduk kembali terangkat. Terlihat berkilau tertimpa cahaya lampu teras yang terang.
“..tapi aku nggak mau kamu jadi kayak Mas Affan.”
Bibirnya bergetar. Setetes air jatuh dari sudut matanya saat dia berkedip. Dua kali aku melihat Zena menangis. Pertama, saat meninggalnya Affan. Kedua, karena ulahku barusan.
Gantian tanganku yang menggenggam telapak tangan Zena. Pertanda aku meminta penjelasan.
“Aku selalu cemburu.. selalu..” ulangnya, “tiap kali kamu deket sama cewek lain, tiap kali kamu ketawa karena cewek lain, aku cemburu..”
Tiba-tiba setetes air menetes di hatiku. Menyejukkan sekaligus terasa hangat. Genggaman tanganku semakin erat.
“Tapi aku inget pesen Mas Affan sebelum dia kecelakaan,” dia melanjutkan diiringi tetesan-tetasan air lain yang saling berkejaran jatuh di pipinya.
Zena melepaskan tangannya dari genggamanku. Membuatku terkejut. Tapi aku lebih terkejut lagi saat dia menyodorkan hpnya padaku. Dengan penuh rasa ragu dan bertanya-tanya, kuterima hpnya.
Sebuah SMS. Dari Affan.
“Dek, mas akhrny pts. Cpk jg pcrn sm ce psesf. Km jgn g2 y.. kshn indra, km syg kn sm dy?”
Kulihat tanggal pengirimannya. Empat bulan yang lalu. Tepat dihari meninggalnya Affan. Mataku langsung beralih dari lcd kepada wajah Zena yang berkilauan.
“Aku yakin, penyebab Mas Affan kecelakaan adalah karena dia terus mikirin ceweknya itu.. Mas Affan dulu sering cerita, ceweknya itu cemburuan. Cenderung posesif malah,”
Zena terisak pelan, bahunya sedikit bergoncang.
Aku tak tahan melihatnya. Aku tak mau Zena menangis karena aku. Segera aku berdiri dan menariknya kedalam dekapanku.
“Karena itu, waktu kita jadian Mas Affan pesen supaya aku nggak gampang cemburu.. apalagi karena alasan yang nggak jelas.”
Detik ini juga aku sangat yakin. Bahwa hatiku sepenuhnya hanya untuk Zena.
“Jadi selama ini, aku nyoba nyari pengalihan lain tiap kali aku ngerasa cemburu. Aku nggak mau bersikap posesif dan bikin kamu jadi kayak Mas Affan..”
“Kamu boleh cemburu.. kamu harus cemburu. Kamu boleh marah sama aku kalo’ aku udah bikin kamu cemburu dan deket sama cewek lain..” katanya masih memeluknya.
Apakah ada yang merasa, betapa hangatnya udara malam ini?
♥ ♥ ♥
Nov, 06th 08
05.14 pm