Sabtu, 11 Juni 2011

Ini Tentang Kamu, Iya Kamu




Kamu, iya kamu.
Kamu yang mengisi separuh duniaku.

Kamu, iya kamu.
Kamu yang sulit kudekati tapi selalu ingin aku berada di dekatmu.
Kamu yang selalu bertanya tanpa pernah memberiku kesempatan untuk menjawabnya.
Kamu yang enggan kugenggam tangannya tapi menginginkanku untuk memeluk hingga kamu tertidur.
Kamu yang selalu berkata tidak alih-alih bilang iya setiap kali aku bertanya, “Apa kamu merindukanku?”
Kamu, iya kamu.

Kamu, iya kamu.
Kamu seolah Dia ciptakan dari bongkah keangkuhan yang sulit ditaklukkan. Kamu sulit untuk direngkuh walau terlihat rapuh. Kamu menyurutkan gelora api semangat pasukan yang akan maju perang. Kamu membuat jiwa ini teracuni tanpa disediakan penawar. Kamu laksana buku terbuka yang mudah untuk dibaca namun menyimpan sejuta misteri.





***

Kamu, iya kamu.

Kupatuhi syarat dan ketentuan yang kamu berlakukan saat diriku datang.
“Dilarang menyukai pria yang disukai sahabat. Jangan mencintai pria yang telah memiliki kekasih sampai membuatnya memutuskan kekasihnya. Itu peraturannya.” Begitu katamu waktu itu membutaku menyunggingkan sepotong senyum karena kebesaran hatimu.
“Kalau sudah terlanjur, siapkan tisu untuk menghapus air mata.” Kamu bercanda. Tapi tidak denganku. Tidak kurelakan kamu menangis karena putus cinta. Memikirkannya saja sudah membuat hatiku gerimis.



“Maafkan aku. Tapi permintaan Ayah sudah jelas, aku disini untuk belajar bukan yang lain. Sekali lagi maafkan aku.” Kamu berkata tanpa berani menatap mataku ketika aku hadir menawarkan sebongkah kecil hatiku.
Aku coba untuk tersenyum di hadapanmu. Menentramkan dirimu dan diriku sendiri, bahwa aku bisa menerima keputusanmu. Meski ada rasa kecewa yang terselip di sanubari tapi kubisikkan penenang, bahwa itu bukan berarti kamu tidak menyukaiku. Bahwa kamu hanya mencoba berbakti pada orangtuamu dengan mematuhi pinta yang disampaikan padamu.

***

Dan sekaran kudatang kembali di hadapanmu. Merelakan bongkah hati yang lebih besar daripada yang kutawarkan pada orag lain – yang terbesar kedua setelah untuk Tuhan dan junjunganku – untukmu. Hanya untukmu.

Kamu tak perlu ragu menerimanya. Karena telah kupenuhi ketentuan ketigamu.

Kuketuk pintu rumahmu dan kukatakan maksud kedatanganku.

Dan tahukah kamu, Sayang?
bahwa ayahmu telah memberikan izinnya untukku!

Kamu, iya kamu.
Sekarang tak punya alasan untuk menolakku.

Kamu, iya kamu, menikahlah denganku!



***

 
From      : Aina Aulia Kamila <kamil_insy@yahoo.com>
To        : Rangga Raditya <ranggaradit@yahoo.com>

Bismillahirrahmanirrahim,

Mas, perkenalkan diriku, seorang pengecut.

Tahukah kamu, Mas? Apa yang paling kutakuti setelah nilai amalanku tidak bisa mengantarkanku berjumpa dengan-Nya?
Akan kujawab pertanyaan itu untukmu.

Aku takut akan terjerumus pada semunya cinta selain cinta kepada-Nya. Aku takut, ketidakkonsistenan diriku akan membuatku buta dan menjauhkanku dari harum surga. Karena itu kubentengi diriku sendiri agar tertutupi semua yang memang harusnya tidak kutunjukkan pada orang lain.

Aku akan mencoba menerima dengan lapang jika Mas kecewa padaku. Aku tahu, Mas pasti kecewa. Bersembunyi dari ketakutanku. Kamu pasti akan berkata padaku, jangan menghindar dari ketakutanku, tapi mencoba menghadapinya dan berusaha semampuku untuk mengatasinya.

Tapi kemudian Mas, kamu datang membawa sesuatu dalam genggamanmu kepadaku. Sesuatu yang kamu menyebutnya cinta, yang karenanya keteguhan mulai tergoyahkan. Kamu datang setelah memastikan tidak ada wanita yang sedang mencintamu, dan kamu memang tidak sedang memiliki seorang pun kekasih. Kamu bertanya kepada semua wanita yang kamu kenal dan kamu memberikan bukti padaku bahwa kamu tidak sedang dicintai oleh siapapun.
Kamu hampir membuatku ingkar pada janjiku sendiri, Mas!

Dan… Mas, kamu telah membuatku tersudut. Persis seperti mammot yang tidak bisa berkutik dalam hadangan tombak para manusia goa. Kamu datang kehadapan orangtuaku dan meminta izin Ayah untuk menghalalkanmu bagiku.

Aku menangis karenamu, Mas.

Bila lelaki yang datang sebelum dirimu berusaha menaklukkan bentenagku dengan invasi perang, lain halnya denganmu Mas. Kamu telah membuatku menyerahkan kekuasaan benteng padamu, dengan suka rela. Bahkan aku sendiri yang menyambut kedatanganmu.

Jadi, Mas. Sampai jumpa besok, di hari kamu mengucap ijab di hadapan Ayah.


Kamila

p.s. jangan dibalas!!!


***