Kamis, 15 November 2012

Random Project : Cerita Dinar Part#4

Agak nggak sabar waktu ngetik ini.. karena sebenernya ini cerita lama yang mendekam di otak. Kalau nggak salah sudah hampir dua tahun *tepuk tangan*, tapi karena terlalu banyak yang mengendap di otakku, proses pengeluarannya butuh waktu.. haha.. tapi untunglah sudah sampai sini.. paling tidak hanya butuh satu part lagi  untuk menyelesaikannya.. #wish
Jadi.. selamat membaca dan doakan saya sanggup membaca teori-teori untuk ujian saya minggu depan yak! serta diberi kesabaran ekstra untuk menghadapi beragam bentuk anak manusia itu *mulai emosi lagi* doakan saya ^_^ #ala benteng takeshi
Selamat malam.. Selamat membaca






Seperti alat perekam, otak Dinar memutar rekaman tentang semua perkataan Uli padanya di Pantai Widuri tadi. Bahkan telinganya seakan bisa menangkap suara Uli yang berbicara kepadanya secara langsung.
“Aku sudah memandangmu dari dulu, Din. Kamu itu gravitasiku. Ingat setelah kita sama-sama masuk SMP, dan aku sering bermain basket di lapangan dekat rumahmu? Itu karena aku ingin melihatmu. Tapi kamu begitu tak terjangkau..”
Dinar ingat. Dulu, dia suka sekali sengaja melintas di dekat-dekat lapangan yang Uli maksud. Berkata bahwa dia hanya ingin sekedar jalan-jalan, dan saat melintas di dekat-dekat lapangan itu, dia akan mencuri-curi pandang ke arah Uli. Beberapa kali mata mereka bertemu dan Dinar sengaja membuang pandangannya.
“Selalu saja matamu itu seolah tidak mengenalku, padahal aku sudah berharap kamu akan datang mendekat atau hanya sekedar melambaikan tangan padaku. Tapi rupanya harapanku itu terlalu tinggi.” Dinar melirik sekilas, dilihatnya Uli tersenyum getir.
Lalu Uli kembali melanjutkan ucapannya, “Bahkan aku sampai harus mengorek informasi dari Aris dan merelakan uang sakuku untuk membeli seporsi sotonya hampir setiap hari – kamu tahu kan, teman kita yang satu itu lebih suka kita makan ditempatnya dari pada ditraktir makan dimanapun tempatnya.” Dinar mengangguk, Aris memang sangat loyal pada warung soto milik orang tuanya, dia sering kali memaksa siapapun yang dikenalnya untuk makan diwarungnya, katanya sebagai tambahan pemasukan. “Padahal kamu tahu, aku tidak begitu suka dengan soto. Tapi demi mendapatkan informasi tentangmu, aku rela melakukannya.” Aku memang satu SMP dengan Aris. “Katanya kamu masih galak dan pintar.”
“Semakin hari aku semakin gila karena hanya bisa memandangmu dari jauh. Kamu tahu?” dia memaksakan tawa hambar, “Kamu ingat aku jadi dekat dengan tetanggamu karena ingin melihatmu.”
“Dan kamu jadi terlihat nakal.” Cetus Dinar.
“Hahaha,” suara tawanya kali ini terdengar lebih baik. “Tetanggamu itu yang meracuniku. Ditambah lagi kamu selalu membenamkan wajahmu ke buku yang selalu menyita perhatianmu.” Uli menghela napas dengan berat. “Kamu tahu, aku ingin memanggilmu dan berkata berhentilah memandangi bukumu saat kamu jalan, itu berbahaya. Tapi lagi-lagi aku tidak berani. Kamu sudah terlalu tidak terjangkau.”
Ya, memaksa tetap membaca saat berjalan itu memang berbahaya. Dinar tahu resikonya. Dia pernah dengan sukses menabrak tiang listrik dan menjadi bahan tertawaan. Tapi bukan Dinar jika dia menutup bukunya.
“Aku frustasi. Dan rasa frustasiku kulampiaskan pada hal-hal yang salah.”
Dinar tidak menyukai apa yang terlintas di pikirannya saat mendengar pengakuan Uli yang terakhir.
“Tetanggamu itu memang nakal, tapi kamu tahu, teman-temannya jauh lebih nakal lagi.”
Yadi, itulah nama tetangga yang sejak tadi disebut-sebut Uli. Dinar mengenalnya, dan dia tahu riwayat pergaulannya, Walau cuma sedikit, karena dia tidak tertarik. Tapi mendengar Uli berkata begitu, mau tidak mau Dinar jadi tertarik.
“Jangan katakan apapun lagi.” Kata Dinar lirih. Tiba-tiba saja matanya panas mendengar cerita Uli.
“Ya, aku semakin mengenal dunia mereka, dunia teman-teman tetanggamu itu. Jangan pikir dia buruk, karena kamu tahu aku justru lebih buruk darinya.”
Tes.
Dinar mengalihkan wajahnya kesamping, agar Uli tidak melihatnya yang sudah meneteskan air mata. Untung saja Uli juga sedang memandang laut lepas di hadapannya dengan pandangan kosong.
“Jadi karena aku?” Tanya Dinar terbata.
Uli menggeleng, “Bukan karenamu. Tapi karena diriku sendiri. Aku yang tidak berani mendekatimu, aku yang memilih mereka sebagai temanku.”
Lalu dia kembali melanjutkan, “Tapi kemudian, saat aku sedikit terlena dengan candu lain selain dirimu, kembali aku dipertemukan dengan tatapan galakmu itu.” Uli terkekeh, dan Dinar tidak tahu apa yang sedang Uli bicarakan. “Pendidikanku hancur, SMAku berantakan, dan hidupku pun tidak memiliki tujuan. Untungnya Tuhan masih sayang padaku, karena lalu aku kembali dipertemukan denganmu.
“Aku iri denganmu. Bukankah aku ini tidak kalah pintar darimu? Tapi kenapa hanya kamu yang bisa pergi merantau untuk kuliah? Kenapa diantara kita – yang terpintar di kelas – hanya satu yang bisa kuliah. Apakah kamu ingat, dulu aku pernah mengatakan padamu cita-citaku, aku ingin menjadi seorang arsitek? Aku melupakannya, tapi saat melihatmu waktu itu tiba-tiba saja cita-cita itu kembali menghantamku.
“Aku ingin kembali, tapi aku sudah berjalan terlalu jauh. Sampai akhirnya Ayah tahu semua perbuatanku, dan aku dikirim ke panti rehabilitasi.”
Dinar tidak mampu menahan isakannya. Hingga membuat Uli menghentikan ceritanya, dan menatap Dinar ragu.
“Maaf, maaf..” bisik Dinar dengan suara bergetar.
“Stt.. sudah kubilang itu bukan salahmu, itu salahku. Bukankah pada akhirnya kamu yang menyelamatkanku? Kalau waktu itu aku tidak melihatmu, aku tidak yakin kita akan duduk berdua disini, dan aku membuka rahasia masa laluku padamu.” Katanya sambil tersenyum.
Dinar tidak menyangka, senyum yang selalu diingatnya itu pernah menyimpan kenangan getir. Pantas saja saat Uli pertama kalinya datang ke rumahnya kemarin lusa – sewaktu mengajaknya untuk berkencan sekaligus mengantarkan undangan – ada luka yang seolah tersirat dalam matanya.
“Aku hampir menyerah, Dinar. Aku hampir menyerah. Beberapa kali aku mencoba mengakhiri hidupku,” ucapan Uli membuat Dinar bergidik, “mengingatmu saja sepertinya tidak cukup menguatkanku. Candumu tidak bisa mengurangi rasa hausku. Sampai akhirnya aku bertemu dengannya.” Katanya sambil tersenyum.
Dia yang dimaksud Uli adalah gadis yang akan dinikahinya. Gadis yang namanya tertera di undangan pernikahan Uli. Andini. Nama yang cantik. Terkesan lembut dan perhatian.
Andini satu tahun lebih muda darinya dan Uli. Dia menjadi volunteer dip anti rehabilitasi tempat Uli dirawat. Dan Andini yang membantu Uli melewati masa-masa sulitnya.
“Ya, kalian adalah dua wanita yang penting bagiku setelah Ibu. Karenamu aku kembali memikirkan masa depan, dan karena Andini aku ingin memiliki masa depan.”
©©©