Disaat seharusnya aku membuka folder keramat (baca: folder tujuh huruf yang) yang sangat menentukan nasib masa depanku, tapi mampu membuat boros seketika karena setiap hari aku harus mencari bermacam camilan dan coklat untuk menenangkan hati karena hasil konsultasi maupun hasil kegalauan.. Tapi apa mau dikata, toh dalam waktu kurang dari satu jam terakhir kesepuluh jariku justru asik merangkaikan huruf demi menerjemahkan isi kepalaku ke dalam bahasa yang lebih mudah dipahami tentang akhir dari cerita ini..
Jadi, selamat membaca..
=.=.=
Jadi, selamat membaca..
=.=.=
Apa
kabarmu? Apakah kamu rindu padaku?
Tidak
tahu apa yang memancing, tiba-tiba saja aku mengingatmu. Mengingat detail
tentangmu.
=.=.=
Inikah hari
terakhirku melihatmu? Apakah kita tidak akan bertemu lagi?
“Ran, foto..”
“Satu, dua, tiga.. cheers..”
Kutarik kedua sudut
bibirku setengah terpaksa. Kenapa? Bukankah seharusnya aku bahagia?
Sudah dari kecil aku
membayangkan aku mengenakan toga berwarna hitam ini. Bahkan harusnya aku lebih
bahagia lagi saat melihat tangsi haru Ibu saat namaku disebut dengan predikat cumlaude. Tapi tidak. Ada yang salah denganku. Kenapa aku
malah merasa sesak?
“Selamat ya,” katamu
pada akhirnya.
Baru delapan orang yang
telah resmi lulus dan diwisuda hari ini dari kelas kita, aku salah satunya.
Kamu mengulurkan
sebuket bunga anggrek berwarna putih. Aku yakin dari bentuknya, ini termasuk
jenis anggrek bulan. Meskipun tidak memiliki bakat dalam bercocok tanam, tapi
aku masih bisa mengenali berbagai jenis bunga-bungaan. Hei, lagi pula di
belahan dunia lain, bunga ini dipanggil dengan namaku! Dan ini adalah bunga
favoritku.
“Aku tahu, kamu
lebih suka dengan anggrek dibandingkan dengan mawar merah sekalipun.”
Ah, kamu begitu
mengenalku.
“Terima kasih.” Jawabku
bersikap sopan. Terlalu sopan mungkin. Mengingat apa yang terjadi di antara
kita beberapa bulan terakhir.
Gelombang pertama
yang lulus dari kelas kita. Acara makan malam sebagai perayaan sekaligus ‘pelepasan’
ini sepertinya akan menjadi yang terakhir kita bisa berkumpul lengkap seperti
ini.
“Apapun yang
terjadi, semuanya wajib datang setiap kali ada yang diwisuda.” Daulat Yudhi
seakan bisa membaca pikiranku.
“Diusahakan..” jawab
semua orang sekenanya.
Aura kebahagiaan
yang sebelumnya mendominasi, perlahan digantikan oleh isak tertahan saat video
yang berisi gambar-gambar kebersamaan kita sejak masa ospek diputar. Kita sengaja
menyewa seluruh café. Tidak ingin ada yang mengganggu acara sakral kita.
Tanpa kusadari,
setitik air mata jatuh dari kedua sudut mataku. Disusul oleh titik-titik
selanjutnya.
Tidak sedikit foto
yang menampilkan kebersamaan kita. Kamu dan aku. Saat kita bergi bertamasya ke
pantai. Saat kita pergi berkemah. Saat kita di kelas. Saat kita mengerjakan
tugas. Dan berbagai macam momen lain yang terabadikan dalam lensa kamera.
Kuhapus paksa air
mataku saataku menyadari matamu menatapku lekat dari meja tempatmu berada. Kusunggingkan
sebuah senyum palsu untuk menenangkan perasaanku sendiri.
Apakah kedekatan
kita dulu hanya akna berakhir seperti ini?
=.=.=
Sudah
lima tahun berlalu sejak waktu itu. Apa kabarmu?
Itu
benar-benar menjadi saat terakhir kita bertemu. Aku dengan alasan pekerjaan yang
berhasil kuperoleh, selalu mangkir dari acara yang dulu telah kita sepakati. Bahkan
saat wisudamu pun aku sengaja tidak datang.
Kupandangi
jemari tangan kiriku yang kini tak lagi polos. Tahukah kamu, kalau aku akan
segera menikah? Apakah kamu sudah menemukan wanitamu?
Badoh.
Bodoh. Bodoh.
Setelah
sekian lama menata hatiku, kenapa jantungku harus kembali berdetak lebih cepat
saat mengingat tentangmu. Bahkan sebelumnya aku bisa dengan leluasa menyebut
namamu dalam sebagai obyek pembicaraan saat tidak sengaja aku bertemu dengan
Yudhi lima bulan yang lalu.
Berhentilah
Ran, bahkan kamu sekarang sudah menjadi calon istri orang
lain. Rutukku pada
diri sendiri.
=.=.=
Sungguh
aku tidak tahu jalan cerita apa yang Tuhan siapkan untukku.
Saat
akhirnya aku dipertemukan kembali denganmu, bukan skenario seperti ini yang ada
dalam anganku. Dalam bayanganku, aku sudah resmi menjadi istrinya saat harus
kembali menyapamu, dengannya disisiku yang pasti. Di reuni kelas kita mungkin,
suatu hari nanti.
“Aku
berjanji bertemu dengan sepupu jauhku, jangan bertanya dia sepupu jauh yang
seperti apa, karena aku juga tidak tahu urutannya dengan jelas. Yang pasti dia
adalah sepupu dari pihak ibuku. Aku baru tahu kalau juga dia bekerja di sini,
Ibu yang memberitahuku dan memintaku untuk menemuinya.” Katanya buru-buru
menjelaskan sebelum aku bertanya.
Aku
tersenyum, tulus. Sedikit membuat deretan gigiku terlihat. “Aku bahkan belum
bertanya apapun.” Komentaku.
“Kamu
tidak marah?” tanyanya hati-hati.
“Kenapa
harus marah?” aku balik bertanya.
“Karena
aku membuat janji dengan orang lain saat seharusnya aku bersamamu. Maaf, tapi
aku benar-benar tidak punya waktu..”
“Sst,”
aku memotong perkataannya yang panjang, lihatlah dia ini sungguh cerewet
rupanya. Padahal semua orang mengenalnya sebagai di pendiam yang dingin. Tapi di
depanku dia bisa menjelma menjadi banyak bicara seperti ini. Apakah kecerewetan
itu bisa menular?
“Aku
tidak masalah.” Aku menyunggingkan senyuman untuk meyakinkannya. Dan benar kata
orang. Senyuman itu menular. Dia membalas senyumku. Senyum kesukaanku. Senyumannya
mengingatkanku pada senyummu, bahkan saat kami pertama kali bertemu.
Dan
kamu berdiri di sana, membalas lambaiannya dan berjalan mendekat. Aku tercekat,
baru semalam otakku memutar kenangan tentangmu. Dan aku belum siap menghadapimu
saat ini.
Matamu
melebar saat kamu menyadari keberadaanku disana.
“Anggrek,”
Aku
merutuk dalam hati, kenapa kamu memanggilku dengan sebutan itu. Selama ini dia
menganggap bahwa itu adalah panggilan spesialnya untukku.
Kusunggingkan
senyumanku lagi. Mencoba mengatur ekspresiku senormal mungkin.
“Ternyata
kalian ini teman kuliah, aku hampir lupa kalau kamu dulu juga kuliah di kota
itu.” Dia terlihat sangat antusias dengan cerita kita kuliah di tempat yang
sama, bahkan satu kelas.
Kulirik
hatiku, tidak ada debaran abnormal lagi saat aku memandangmu yang jauh lebih
matang dari terakhir kita bertemu. Saat hari wisudaku dulu.
“Dunia
itu sempit banget ya,” kali ini aku yang berkomentar.
=.=.=
Aku
menatap nanar batu nisan bertuliskan namanya. Ya, dia telah berpulang. Tepat sebulan
sebelum pernikahan yang kami rencanakan. Kecelakaan saat rombongan mobil
kantornya terlibat dalam kecelakaan beruntun.
Untuk
ketujuh kalinya aku mengunjunginya di rumah barunya. Ini pagi ketujuh sejak
jasadnya dimakamkan.
Jangan
bertanya bagaimana perasaanku. Saat mendengar berita itu, aku hanya jatuh
terduduk, tanpa mengeluarkan air mata setetespun. Sejak hari itu, aku tidak
mengeluarkan sepatak katapun.
Ini
sungguh aneh, karena aku adalah seorang yang cengeng dan aku adalah seorang
yang cerewet. Aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi padaku. Tapi aku merasa
kosong. Benar-benar kosong.
Aku
tidak menanggapi semua ucapan bela sungkawa, apalagi rasa kasihan yang
diberikan semua orang.
“Kasihan
sekali, mereka akan segera menikah.” Bahkan mendengarnya saat tubuh kakunya
baru saja dibawa ke masjid untuk disalatkan.
“Ran.”
Aku mengenali suara ini. Suara yang tidak asing.
Kudongakkan
kepalaku dan menemukanmu berdiri menjulang tak jauh dari tempatku berjongkok di
sisi makamnya.
Belum
sempat kamu mengeluarkan suara dari mulutmu yang telah terbuka, air mataku
sudah menetes. Aku masih memandangmu dan tak kuasa menahan isakan. Kamu membeku
di tempatmu berdiri, menatap haru kearahku yang mulai tersengal dalam tangisku.
=.=.=
-END-
Anehkah? Maaf, aku telah terkontaminasi alur ff tetangga yang benar-benar menyesakkan. Jadi tiba-tiba saja berhasrat untuk menuntaskan cerita pesanan ini.. Kakak maaf kalau cerita pesananmu jadinya berending seperti ini.. ingat, ini hanya fiksi.. dan aku ingat sekali pesanan Pak Fahrudin - guru Bahasa Indonesiaku di kelas X - bahwa salah satu akhir cerita yang baik adalah yang bisa membuat pembaca meneruskan sendiri ceritanya sesuai dengan kehendak masing-masing.. *Pak, aku sudah melaksanakan pesanmu.. :D *
Dan sekarang aku harus undur diri karena ff tetangga dan para zombie struktur bangunan yang harus aku komentari dan variabel-data-metode analisis proposalku sudah menanti