Jumat, 24 Juni 2011

Ini Kisahmu



Kamu terbangun dari tidurmu dengan nafas berkejaran memburu. Keringat membanjiri tubuhmu satu-satu. Perlahan air matamu mengalir karena alasan yang hanya kamu yang tahu.
Mimpimu terasa begitu nyata. Bahkan kamu masih bias merasakan hangat tangannya menggenggam lembut jemarimu. Kamu terisak pelan, mencoba tidak membuat suaramu membangunkan seisi rumah.
“Jangan. Tidak enak jika dilihat orang.” Kamu mencegah saat dia hendak menggenggam tanganmu.
“Biar saja semua orang melihat.” Jawabannya membuat mulutmu bungkam. Meski begitu rona merah pada kedua pipimu sudah mewakilimu menjelaskan semua perasaanmu.
Kamu masih menangis. Karena dialog yang begitu menggetarkan hati itu hanyalah sebuah bunga tidur belaka.
“Kenapa aku menangis? Apa yang aku tangisi?” kamu bertanya kepada dirimu sendiri.

==

Sabtu, 11 Juni 2011

The Way (Next Chap from Cerita Dari Sebuah Masa)




Cerita Dari Sisi Ardi


Secara sekilas, dia bukanlah gadis yang bisa membuat pikiran teragum-kagum pada pandangan pertama. Kesan awal yang tertangkap adalah cerdas, namun keras kepala. Selain itu, secara keseluruhan sebenarnya dia termasuk orang yang berpikiran luas dan memiliki senyuman yang bersahabat. Meski begitu, yang baru akan terungkap setelah mengenalnya dengan sangat baik, dia adalah seorang yang manja dan pemaksa.
“Ya, ya, ya...” dia memamerkan senyum terbaiknya. “Nitip beli batagor di depan, nih uangnya.” Tangannya mengulurkan tiga lembar uang bergambar Kapitan Pattimura yang sedang memamerkan parangnya. “Nggak make saus sama acar.”
Dengan menghela nafas, Ardi menerima uang yang diulurkan Sella-yang ngotot meminta dipanggil Laila, namun tak ada yang menurutinya-─dan menerima konsekuensi dari keputusannya. Pesanan-pesanan lain turut mengalir setelah dia mengiyakan permintaan gadis itu, tapi mana mungkin dia bisa menolak Sella.
“Makasih sebelumnya.”
Ucapan itulah yang Ardi nantikan, diiringi senyuman lebar yang selalu bisa membuat perasaannya menjadi lebih baik.
Ardi membalas dengan mengacungkan ibu jari kanannya. “Sip.” Katanya disertai senyum ringan.

***

Ini Tentang Kamu, Iya Kamu




Kamu, iya kamu.
Kamu yang mengisi separuh duniaku.

Kamu, iya kamu.
Kamu yang sulit kudekati tapi selalu ingin aku berada di dekatmu.
Kamu yang selalu bertanya tanpa pernah memberiku kesempatan untuk menjawabnya.
Kamu yang enggan kugenggam tangannya tapi menginginkanku untuk memeluk hingga kamu tertidur.
Kamu yang selalu berkata tidak alih-alih bilang iya setiap kali aku bertanya, “Apa kamu merindukanku?”
Kamu, iya kamu.

Kamu, iya kamu.
Kamu seolah Dia ciptakan dari bongkah keangkuhan yang sulit ditaklukkan. Kamu sulit untuk direngkuh walau terlihat rapuh. Kamu menyurutkan gelora api semangat pasukan yang akan maju perang. Kamu membuat jiwa ini teracuni tanpa disediakan penawar. Kamu laksana buku terbuka yang mudah untuk dibaca namun menyimpan sejuta misteri.


Selasa, 07 Juni 2011

Cerita Dari Sebuah Masa


UN sudah berlalu sejak sebulan lalu. Fokus semua orang tak lagi pada sesuatu yang telah berlalu itu. Kini semuanya sibuk mempersiapkan acara ‘perpisahan’ yang akan berlangsung… hari ini.
Betapa sulitnya aku melangkah dengan sandal setinggi ini. Belum apa-apa kakiku sudah pegal-pegal. Belum lagi beberapa kali aku hampir jatuh karana langkahku tidak stabil. Dengan sandal atau sepatu setinggi satu sentimeter dari tanah saja kadang-kadang bisa membuatku terpeleset, bagaimana dengan yang ini?
Dalam hati aku merutuki pencetus ide acara perpisahan dengan kostum nasional begini. Karena itu berarti, aku yang berjenis kelamin perempuan sejak lahir sampai sekarang harus memakai kebaya. Bukannya aku tidak suka menunjukkan rasa nasionalismeku, tapi yang aku tidak sukai adalah bagian berhak tinggi yang sekarang sedang terpasang dikakiku.
“Sela..” teriak Lia keras melihatku memasuki aula. Dia sudah lebih dulu sampai rupanya. “Baru kali ini lihat lu dandan.” Komentarnya.
Ya Tuhan.. kupikir dia mau berkata apa. Ternyata hanya itu.

Dari semua susunan acara, yang paling kusukai adalah bagian terakhir. Apalagi kalau bukan foto-foto. Kami benar-benar super duper gila. Begitu melihat benda berbentuk kotak yang punya nama ka-me-ra, kami seperti kesetanan dan berlarian minta ikut difoto. Benar-benar melelahkan bagiku, dengan sandal berhak tinggi ini dan keinginan tak mau melewatkan acara berfoto bersama. Narsis abis!
“Sela.. sini!” teriak Lia, manarik tanganku kearah segerombolan anak kelas kami yang sedang berpose ala teletubies. Berpelukan..
Aku sudah tidak kuat lagi. Aku benar-benar butuh yang namanya kursi. Kakiku terasa hampir copot dari engkelnya. Jadi kuabaikan ajakan-ajakan ‘pengabadian’ momen dan berjalan tertatih menuju sebuah kursi yang entah bagaimana sampai di lantai atas yang seharusnya kosong ini.
“Kelihatannya lu capek banget Sel,” kata seseorang yang rasanya kukenali suaranya begitu aku duduk. Rupanya yang berkata itu adalah Dafin.
“Ehm, iya lumayan.” Kataku kaku. Aku tak tahu harus berkata apa padanya. Sudah lama kami tidak bicara. “Dari tadi lari-lari terus.”
Kanapa aku harus canggung begini berada didekatnya? Tapi harus kuakui, dia terlihat sangat cocok dengan jas hitamnya.
“Mau gue ambilin minum?” dia menawarkan, “Mau ya..” sebelum aku sempat menolak, dia sudah berlalu.
            Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku tidak suka berada dalam posisi seperti sekarang. Kenapa pula otakku tiba-tiba macet?
            Belum sempat aku mengambil keputusan, Dafin sudah kembali muncul didepanku membawa dua botol minuman dingin. “Nih.”
            Aku menerima pemberiannya dengan perasaan galau.
            “Udah lama ya, kita nggak ngobrol.”
            Iya sudah lama. Sangat lama. Mungkin sudah berabad lamanya kami tidak berada dalam jarak sedekat ini. Kini aku bisa mencium kembali wangi parfumnya. Masih sama seperti yang ada dalam ingatanku.
            “Jadi udah mutusin, mau masuk mana?” dia bertanya.
            “UNS mungkin.” Jawabku.
“Kenapa harus Solo, kenapa nggak disini aja?” tuntutnya.
“Bosen. Pengen suasana baru. Lu sendiri?” aku balik bertanya.
            “Belum kepikiran sih, palingan di Jogja.” Dia menjawab.
            Hah.. Jogja?!? Hanya berjarak kurang dari satu jam dari Solo… tapi, tadi protes padaku. Aku tak terima, “Lu juga, kenapa di Jogja?” sebelum dia sempat menjawab aku sudah menambahkan, “Harus kreatif, nggak boleh ngopi.” Ancamku dengan mimik yang membuatnya tersenyum.
            “Pengen aja.” Dia menjawab sekenanya.
“Nanti nggak pa-pa kan, kalo gue sering main?” tanyanya. Rupanya dia bisa membaca pikiranku tadi.
            Aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaannya.
            “Eh, gue ada kamera nih,” dia mengeluarkan si kotak ajaib dari dalam saku jasnya, “foto yuk.” Ajaknya.
            Tanpa menunggu persetujuanku (lagi-lagi), dia memanggil Fino yang kebetulan melintas di dekat kami. “Fin, tolong dong..” pintanya mengulurkan kamera digitalnya pada Fino.
            Dengan senang hati Fino menerimanya dan menekan tombol on.
            “Lu duduk aja, nggak pa-pa.” cegahnya saat aku hampir berdiri.
            Maka dia berdiri di belakangku dengan kedua tangannya diatas bahuku.
            “Lagi dong..” bujuknya pada Fino yang mau menyerahkan kameranya.
            “Nggak mau sia-siain kesempatan ya?” ejek Fino disertai cengiran. Mukaku memanas mendengarnya. Sementara Dafin hanya membalas cengiran Fino.
            Setelah beberapa pose (yang kesemuanya aku tetap duduk), Dafin mau menerima kembali kameranya.
            “Nanti deh, gue kirim ke lu soft copynya.” Ujarnya.
            Beberapa saat kami masih saling bercerita tentang cita-cita. Katanya waktu kecil dulu dia ingin menjadi seorang pengacara. Tapi melihat banyaknya skandal yang menimpa para pengacara, hakim, dan jaksa, dia memutuskan ingin menjadi politisi saja. Maka dia berkeinginan untuk meneruskan pendidikannya di FISIP PT manapun nantinya. Dan karena dia sangat mencintai gitar, dia juga ingin memperdalam kursus musiknya.
            “Lu tahu nggak, lu kelihatan manis banget hari ini.” katanya beberapa saat sebelum kemudian dia berlari meninggalkanku di pintu masuk aula.

            Aku dan Dafin dulu sempat dekat. Bukan dekat dalam artian khusus, tapi dekat dalam artian dekat. Hanya dekat. Dulu kami sekelas di kelas 10. Dia adalah seorang yang bersedia meladeniku berdebat soal segala film yang baru aku tonton, seorang yang rela mendengarku mengoceh tentang grup detektif, seseorang yang mau kuajak mencari nilai pesan moral (yang semuanya tentang cinta-cintaan) dari teenlit yang kubaca, seseorang yang rela menghabiskan pulsanya saat jiwa puitisku tiba-tiba bergejolak, dan seseorang yang… aku tak tahu lagi bagaimana menjelaskannya.
            Tapi semua itu tidak bertahan lama. Sejak kenaikan kelas, dan kami berbeda kelas dengan sendirinya jarak diantara kami semakin menjauh. Tadinya masih ada SMS-SMS yang saling mengisi kotak masuk dan telepon-telepon yang tertera di daftar panggilan. Tapi lama-lama frekuensinya terus berkurang dan kemudian hilang total. Bila tadinya masih sempat ngobrol saat tidak sengaja bertemu di kantin atau di koridor, kemudian sebatas saling sapa, dan akhirnya hanya anggukan kepala.

Ada seribu lebih e-mail di kotak masuk saat aku iseng membuka e-mailku (sebagian besar berasal dari Facebook :D). Tapi ada satu yang langsung membuat dadaku berdebar-debar saat aku membaca siapa pengirimnya. Dari Dafin. Cepat-cepat kuarahkan kursor pada e-mail yang kumaksud.
From                : dafindafindafin@yahoo.com
Subject             : ma promise
            Hai Sel, sebelum gue lupa sama janji gue mending gue kirimin ke lu sekarang aja ya… en, eniwe… u’r beautiful.

                                                                                                            U’r dafin
            Beautiful? U’r Dafin? Apa maksudnya itu?
            Aku tidak mau berlama-lama dengan tulisan aneh Dafin itu sekarang. Sepat-cepat aku membuka lampirannya. Foto kami tadi siang.
            Aku tak mau dianggap tak tahu terima kasih, maka kubalas e-mailnya itu.
To                   : dafindafindafin@yahoo.com
Subject             : re-ma promise [thanks full]
            Udah gue terima, thanks a lot yah, buat foto en pujiannya.

                                                                                                            SeLaila
            Aku tak mau ikut-ikutan menuliskan U’r didepan namaku. Hoho, belum sampai tiga menit aku sudah menerima balasan dari Dafin. Rupanya dia masih on line. Betah juga dia memandangi layar. Dari waktu yang tertera di e-mailnya yang pertama kuterima, dia sudah mengadu jari dengan keyboard tak kurang dari dua jam. Eh, tapi dugaanku bisa saja salah. Mungkin saja dia tadi sempat meninggalkan PCnya dan sekarang baru kembali.
From                : dafindafindafin@yahoo.com
Subject             : super duper wow!
            Lu masih ol ya? YM-an aja yuk… gue tunggu,
            YM? Masih musim ya? Tapi tak urung juga aku menuruti permintaannya.
            Hanya ada alamat e-mailnya pada daftarku. Sekarang sebagian besar orang yang tertera pada layarku sedang asyik ber-Facebook ria.
dafindafindafin : hai lagi…J
selaila               : hai (lagi) juga…J
dafindafindafin: gue nggak ganggu kan?
selaila               : ya g lah, knp juga ganggu??
dafindafindafin: mungkin aja lu lg beljar…:D
selailai              : ngejek nih…
dafindafindafin: nggak, tp biasanya kn lu slalu blajar… jngan mrah dunk…
selaila               : gw g mrh kuk! Hehe,
dafindafindafin: hffff…
selaila               : knp?
dafindafindafin: nothing.
selaila               : ??
dafindafindafin: sel,
selaila               : yupz
dafindafindafin: cm manggil :p!
selaila               : …
selaila               : fin,
dafindafindafin: y, knp sel?
selaila               : gw cm manggil :p! gantian dunk.. :p
dafindafindafin: eh, sel… a big sorry en thanks full y,
selaila               : 4?
dafindafindafin: smuanya
selaila               : ?
selaila               : mksudnya apaan fin, gw g paham..
dafindafindafin: y, maapin smua salah gw n makasih buad semuanya.
selaila               : terus?
selaila               : ky orang mw pamitan aja… lu mw pergi emang?
            Kenapa aku harus menanyakannya?
dafindafindafin: sel,
selaila               : iyap,
dafindafindafin: gw lnjut k luar.
selalila              : lanjut apaan? Luar? Mksudnya?
            Perasaanku mulai tak enak. Kurasa ada baiknya aku tak mengetahui kelanjutan cerita Dafin. Tapi mau bagaimana lagi, aku sudah terlanjur mengetik pertanyaanku itu. Normalnya, orang akan memberikan jawaban setelah ditanya.
dafindafindafin: gw lnjut kul di kanada, bokap ngmbl s3 dsna. Qt smua ngikut,
            Jadi itu maksudnya. Aku tak bisa meminta jantungku untuk berdetak sesuai irama yang biasanya saja. Aku tak tahu harus mengetik apa sebagai balasan.
selaila               : sayonara,
            Aku benar-benar tak bisa berpikir jernih.

Cerita Cinta Dinar

Pikiran Dinar tidak bisa berkonsentrasi pada jalan cerita yang coba dirangkainya. Matanya masih saja tertuju pada halaman yang sama selama sepuluh menit terakhir. Otaknya macet. Tak sanggup mencerna informasi yang baru saja dia peroleh.
“Aku udah jadian sama Lala.” Gani memberitahunya sepuluh menit yang lalu. Waktu yang salah sebenarnya. Dinar sedang membaca novel berjudul To Kill A Mockingbird yang butuh energi ekstra untuk dicerna dalam terjemahan bahasa Indonesia, dan dia sudah sampai pada bab-bab akhir, dan seharusnya Gani menunggu sedikitnya seperempat jam untuk memberinya informasi yang satu ini. Agar paling tidak, dia tidak perlu membaca ulang novelnya dari halaman pertama.
Pantas saja semalam Lala meminta izin khusus untuk makan di luar dengan seorang teman, katanya. Juga tadi pagi dia tak juga berhenti memamerkan cengiran walau Dinar sudah mewanti-wanti bahwa Lala bisa dikira sedang stres akut.
“Aku yang minta Lala buat jangan ngomong duluan ke kamu, aku pengen nyampein duluan…”
Oh, ingin sekali rasanya dia tenggelam ditelan bumi.

@@@

Dinar mulai memiliki rasa ketertarikan pada lawan jenis bahkan sejak dia masih duduk di bangku kelas satu SD. Namanya Uli. Uli ini berpostur tinggi, jauh lebih tinggi dari pada teman-teman seusianya, yang tertinggi di kelas. Wajahnya manis berhias dua lesung pipi yang akan muncul saat dia tersenyum. Dia juga pintar, nilainya yang tertinggi setelah Dinar di kelas mereka.
Yang membuat Dinar diam-diam menulis nama Uli di hatinya adalah karena bocah lelaki itu berkali-kali menghiburnya saat menangis. Dulu Dinar terkenal sangat cengeng.
Kekaguman Dinar pada Uli tak juga surut hingga tahun-tahun berikutnya. Menginjak kelas dua SD, Uli menjadi satu-satunya murid cowok yang betah berada di dekat Dinar. Dinar kecil memang sangat galak, terlebih pada teman-temannya yang suka meletakkan cicak atau kecoa dia mejanya. Uli tidak termasuk dalam golongan itu.
Memasuki tahun ketiga, Dinar dan teman-teman sekelasnya mendapat kosa kata baru. Cinta. Mereka suka menggunakan kata itu untuk saling menggoda sesame teman, walau tidak paham apa artinya.

Uli cinta Dinar

Begitu tulisan yang terbaca di secuil kertas yang terletak di meja Dinar. Mukanya memerah saat membacanya dan buru-buru membuangnya ke tempat sampah sebelum yang lain melihat. Rasanya dia mengenali bentuk tulisan itu, walau tidak yakin. Kemudian seisi kelas menyoraki saat dia menoleh untuk berbicara dengan Uli, setelah bocah itu menjawil bahunya. Sejak saat itu Dinar tidak berani bercakap dengan Uli.

Baru setahun kemudian dia kembali berkomunikasi dengan Uli. Itupun terjadi karena mereka berdua diajukan sebagai wakil sekolah untuk lomba cerdas cermat se-kecamatan. Dan ketika itu tulisan Uli cinta Dinar yang sering tertera di papan tulis telah berganti menjadi Uli cinta Emma. Ada rasa mual saat Dinar membacanya.

Tahun ajaran baru datang dan Uli dipindahkan ke sekolah lain. Orangtua Uli menganggap beberapa teman sekelasnya member pengaruh buruk. Mereka sebenarnya adalah beberapa kakak kelas yang terpaksa mengulang satu tahun karena tinggal kelas. Uli dekat dengan mereka, dan nilai-nilai Uli anjlok. Sejak saat itu Dinar kehilangan sudut terindah yang biasa mencerahkan pikirannya saat pelajaran.

Beberapa kali dia masih sempat berpapasan dengan Uli saat berangkat ke sekolah di depan rumah bocah itu, sebelum dia membonceng ayahnya untuk berangkat ke sekolah juga. Cinta pertamanya yang jauh dari hasrat membara. Penuh keluguan dan kasih yang tak pernah lagi dia temui.

Menginjak bangku SMP ada Tony yang mengaku diam-diam telah lama memperhatikannya. Tony berbeda dengan Uli. Tony seperti matahari dalam wujud aslinya, meledak-ledak. Sementara Uli adalah sosok mentari yang terlihat dari bumi, hangat dan menentramkan. Tapi ada banyak hal yang membuat Dinar juga mulai memperhatikannya.
Tony pacaran dengan Nana, teman sebangku Dinar, saat kelas tiga SMP. Ada semacam sensasi tersayat yang perih dalam diri Dinar. Sejak saat itu Dinar menghindari segala kemungkinan siuasi yang mengharuskannya untuk berbicara dengan Tony. Dan itu berlangsung hingga hari pelepasan. Dan Dia berjanji pada diri sendiri untuk tidak dulu berkontak dengan Tony dalam bentuk apapun. Saat itu, beberapa kali dirinya merindukan Uli.
Tony mengajarkan bahwa cinta juga melukai.

Justru pada bangku SMA, Dinar tidak menemukan sosok Uli lain atau Tony lain yang bisa menarik perhatiannya. Entah dia yang terlalu cuek dan tidak peduli atau hatinya yang enggan mencari penghuni baru. Dia mendengar kabar dari teman-teman SD-nya, Uli dikirim sekolah ke luar kota. Dan dia menepati janjinya untuk tidak berhubungan lagi dengan Tony.

Sebulan setelah Dinar menyandang gelar sebagai mahasiswa, dia kembali berjumpa dengan Uli dan membuatnya harus menata ulang hatinya. Uli telah berubah seratus delapan puluh derajat dari yang dia kenal dulu. Tapi maklum saja, yang dia kenal adalah Uli saat masih bocak. Dia tidak menyaksikan Uli melewati masa remajanya.
Dalam mobil travel yang mengantarnya kembali ke Solo, Dinar menata ulang perasaannya. Masih tetap ada nama Uli disana. Dalam wujud bocah lelaki yang menghiburnya saat menangis, yang menyingkirkan cicak dan kecoa dari mejanya, yang menjadi partnernya dalam lomba cerdas cermat, yang menyapanya dari balik punggung ayahnya saat akan berangkat ke sekolah, dan yang selalu memamerkan lesung pipi padanya.

Selain Uli dan Tony, ada pula nama Hendri. Cowok yang dia kenal saat menginjak bangku kuliah.
Hendri mengenalkannya pada bentuk cinta yang lain. Begitu dipenuhi keinginan untuk memiliki. Dan saat itu dia sudah mengenal Lala, sudah bersahabat dengan gadis itu karena bermacam kesamaan di antara mereka. Dan Lala juga menghimpun rasa pada Hendri. Maka saatnya bagi Dinar untuk mundur teratur. Toh Hendri jelas lebih tertarik pada Lala.
Tak mau bergelut dengan rasa sesal, Dinar menghibahkan diri selama empat semester dalam bermacam organisasi. BEM, bermacam UKM, HMJ dan HMP, juga pengurus koperasi mahasiswa. Semua itu untuk mengalihkannya dari rasa sakit akibat patah hati. Bunganya telah layu sebelum berkembang. Meski beberapa kali matanya masih melirik mencuri-curi pandang ke arah Hendri. Lala dan Hendri bertahan sampai pertengahan semester enam.

Satu tahun bekerja, Dinar memendam rasa bagi Gani. Tak lebih dari  obrolan singkat dan sekedar tegur sapa.
Dinar bukan gadis yang pandai memvisualisasikan isi hatinya dalam gerak polahnya. Atau sekedar membahasakan kalbunya kepada pihak lain. Dia lebih senang mengunci semua itu dalam laci, tak ada orang lain yang boleh tahu.

Lalu seakan jalannya sebuah siklus. Dinar menyukai Hendri. Lala menyukai Hendri. Rasa suka Lala berbalas. Dinar menyukai Gani. Lala menyukai Gani. Rasa suka Lala berbalas.

@@@

Harapan kosong
Harapan terdiri dari kumpulan angan yang bersatu menjadi keinginan, keinginan yang melambung tinggi hingga masuk dan merasuki mimpi
Harapan telah membuat bertahan dari segala badai cobaan, cobaan tak lagi dihiraukan mengingat bayang-bayang senyuman

Senyum itu kini telah mengembang tapi tidak untuk disimpan melainkan dibiarkan tetap terbang membawa sebagian kebahadiaan