Senin, 24 Desember 2012

Random : Aku Ingin Menjadi Putri Bapak yang Pintar

Oleh-oleh dari pantai kemarin, pengen nulis sesuatu yang bersetting pantai... Selamat membaca... :D




Tidak terasa, sudah hampir setahun berselang sejak terakhir kali aku datang ke pantai ini. Bau amis khas yang terbawa bersama angin laut terasa menyejukkan. bergegas, kulepas sandal yang kukenakan dan berjalan menuju bibir pantai. Mengabaikan cemara laut yang seolah berbaris menyambutku.

Pantai ini.. aku benar-benar merindukannya.

Kenangan itu tiba-tiba menyeruak begitu saja. Mendominasi otak hingga membuatku mematung membiarkan ombak menyapu kakiku perlahan.

Basah.

Tanpa kusadari kedua pipiku telah basah. Aku menangis. Lagi-lagi aku menangis. Tidak, hentikan. Jangan menangis lagi. Seharusnya aku lelah karena terus menerus menangisinya.

Kuhapus air mata yang telah terlanjur jatuh di kedua pipiku dengan kasar. Kuhirup dalam-dalam aroma laut untuk menenangkan perasaanku.

Aku tidak mau merasa sebagai orang yang paling merana. Bukan, aku bukan orang yang merana. Apa yang aku telah kulakukan ini bukanlah sesuatu yang patut untuk disesali. Bahkan seharusnya, aku ini dipuji karena tindakan brilianku.

Tepat setahun yang lalu di pantai ini.

***
Flashback

Ku tatap punggungnya yang berjalan mendahuluiku. Jejak pasir yang tercipta di belakangnya menambah kesan mendalam. Ah, jika saja bisa diabadikan dalam sebuah frame..

Kuikuti naluriku. Aku berhenti dan menatap punggungnya dengan senyum terkembang. Lihatlah, betapa sempurnya sosok itu diciptakan. Bahkan kalian bisa tahu betapa sempurnanya dia hanya melalui punggung tegapnya.

Kuarahkan lensa kamera yang terkalung di leherku ke arahnya. Kuatur fokus objek. 1. 2. 3. Telunjukku telah menekan tombol untuk mengabadikan gerakannya. Dia yang sedang berjalan dengan menyisakan rangkaian jejak langkahnya sendiri. Ini indah..

Aku ketagihan. Lagi dan lagi. Kupotret terus dirinya.

Hingga dia menyadari bahwa aku tidak lagi berjalan disisinya. Bahwa aku bahkan tidak berjalan di belakangnya. Tidak. Aku hanya berdiri dengan kamera terarah padanya.

Klik.

Satu foto terakhir untuk sesi kali ini. Tepat ketika dia menoleh ke belakang. Memperlihatkan separuh wajah sempurnanya. Ekspresi yang alami. Aku suka.

"Apa yang kamu lakukan?" Tanyanya dengan nada gemas.

Aku segera berlari menyusulnya. Memamerkan senyum terbaikku. "Mengabadikan objek." Jawabku masih tersenyum. Aku tahu, dia tidak akan pernah bisa menolak senyumku.

"Kamu ini, dasar.." dia mengacak rambutku yang kali ini kugerai bebas.

Dia menggenggam tanganku. Menautkan jemarinya pada jemariku. Membuatku harus bekerja dengan satu tangan saat mengabadikan tarian cemara laut yang berbaris.

"Bang, aku mau ngambil foto," kataku manja saat dia enggan melepakan tanganku.

"Kan bisa pakai tangan kanan."

"Tapi susah. Aku nggak bisa ngatur fokus lensanya."

Sudah tentu dia tidak akan bisa menolak keinginanku. Akhirnya dia membebaskanku, membuatku langsung berlari menjauhinya. Mengantisipasi kalau-kalau dia akan kembali berubah pikiran.

Aku berbalik, berjalan mundur, mengabadikan jalannya dari depan. Dia hanya tertawa melihat tingkahku.

Lalu tiba-tiba gelombang ombak kembali menyapu kakiku. Hingga lutut. Cukup tinggi. Buru-buru kuangkat kameraku. Akan fatal jika sampai terkena air laut. Foto-fotonya yang tadi berhasil kuambil akan hilang. Aku akan susah mengumpulkannya lagi, dia bukan orang yang suka berada di depan kamera.

"Waaah, basah." Kataku polos melihat jeans ku yang basah. Padahal sudah kulipat, tapi tetap saja basah.

Dia tertawa saat berjalan menghampiriku. Ah, wajahnya yang tertawa. Buru-buru kuarahkan lensa padanya. Jarang sekali momen seperti ini terjadi.

"Jangan foto aku terus. Katanya mau foto sunset." Akhirnya dia menyuarakan keberatannya.

Hahaha, maaf. Tapi aku tidak lagi tertarik menunggu sunset saat melihat senyumnya. Tidak bukan hanya senyumnya. Tapi semua yang ada pada dirinya.


Aku terusik untuk menjauhinya. Menjauhi sosoknya yang berdiri menatap ke arah matahari terbenam. Mengagumkan. Tanpa ada rasa bosan sama sekali, kuarahkan kameraku padanya. Bermaksud kembali mengabadikan siluet punggung tegapnya dengan berlatar belakang pada warna keemasan senja. Indah. Benar-benar indah.

Flashback End

***
Senja. Bodohnya aku memilih waktu senja untuk kembali datang kemari. Kalau begini aku akan merindukannya berdiri disampingku. Menggenggam tanganku, menikmati senja bersama.

Gadis bodoh! Buang jauh-jauh pikiranmu itu!

***
Flashback

Aku sangat menyukai pantai. Meskipun aku tidak bisa berenang. Jangan salahkan aku, salahkan lah tubuhku yang tidak juga bisa beradaptasi, jika sudah didalam air. Jangan bertanya berapa kali aku hampir tenggelam karena terseret ombak.

"Abaang!" Seruku memanggilnya sambil melambaikan kedua tanganku. Dia tersenyum membalas lambainku. Dia menjaga jarak dari air. Aku tahu, dia tidak suka dengan pantai. Sangat bertolak belakang denganku.

Aku terlalu berkonsentrasi pada senyumanannya. Dan tiba-tiba saja tubuhku oleng karena terkena ombak yang cukup tinggi. Aku jatuh dan kurasakan tubuhku menghantam air.

Asin.

Kurasakan ada tangan yang memegang lenganku. Mencegah tubuh kurusku terseret ombak. Tangannya.

Aku membuka mata dan melihatnya menatap tajam. Ada kilatan amarah disana, bercampur dengan perasaan lega dan .. takut? Benarkah dia takut tadi?

"Jangan terlalu bermain ke tengah, nanti kamu terseret ombak." Katanya dengan nada kecemasan tersirat jelas. Bahkan dia tidak berusaha menutupinya.

"Hehe, maaf.." kataku.

"Ayo pulang," ajaknya.

Aku menggeleng, dan malah menariknya untuk ikut bermain denganku. "Mumpung Abang udah basah, sekalian aja." Kusuguhkan cengiranku dan aku yakin dia tidak akan menolaknya. Jarang-jarang aku punya kesempatan ini.


"Apa kubilang, harusnya kamu menurut tadi." Omelnya padaku saat aku menggigil kedinginan.

Aku memang tidak tahan dingin. Hampir empat jam aku bermain air tadi, dan mungkin akan leboh kalau saja dia tidak memaksa dan menyeretku menjauhi pantai.

"Aku nggak mau kehilangan momen sama Abang. Ini pertama kalinya Abang mau menemaniku bermain." Jawabku dengan gigi bergemelut.

Disampirkannya jaketnya ke bahuku, lalu dia menarikku ke dalam pelukannya. Mencoba menyalurkan kehangatan pada tubuhku yang nyaris membeku.

"Dasar gadis bodoh." Bisiknya ditelingaku.

Aku tidak peduli menjadi gadis bodoh. Aku tidak peduli apapun selama aku masih bisa ada di sisinya.

Flashback End

***
Itu untuk pertama dan terakhir kalinya aku berhasil membuatnya 'berasah-basahan' denganku. Dua hari berselang aku kembali membawanya kepantai ini.

***
Flashback

Kali ini aku tidak mendekati air seperti yang biasa kulakukan. Aku terus saja mengabadikan gerakan-gerakan naturalnya dalam frame kameraku.

"Kenapa kamu terus memotretku. Hentikan." Dia memang tidak suka menjadi obyek foto. Obyek fotoku.

"Kenang-kenangan." Jawabku sekenanya. Tidak memedulikan keengganannya.

"Apanya yang kenang-kenangan. Lebih baik kamu cepat bermain air saja sana. Daripada kamu terus menguntitku dengan kameramu itu."

"Nggak mau. Aku kesini nggak mau main air. Aku mau foto Abang." Kataku.

Dia mengernyitkan dahi. Kedua alisnya bertaut. Cepat-cepat kutekan tombol pada kameraku. Klik. Aku mendapatkan ekspresi yang lain lagi darinya.

"Apa maksudmu?"

Aku kembali mengabadikan wajahnya, kali ini sarat dengan ekspresi kebingungan yang begitu nyata.

"Apa maksudmu dengan 'kenang-kenangan'?" dia mempertegas pertanyaannya. Menekankan pada kata kenang-kenangan yang tadi sempat kusinggung.

Aku diam. Tidak menjawab. Dia masih menunggu sesuatu keluar dari mulutku.

"Abang mengerti apa yang aku maksudkan. Nggak seharusnya aku ada di hidup Abang." Kataku pada akhirnya, setelah mendiamkannya hampir lima belas menit. Terus saja mengambil gambarnya tanpa ada usaha darinya untuk menolak seperti yang biasa dia lakukan.

"Semalam Bapak telepon, Bang." Ceritaku. Untuk pertama kalinya sejak sampai disini, aku tidak lagi memandangnya. "Bapak bilang kangen sama putrinya yang pintar."

Aku melirik ke arahnya. Keningnya semakin berkerut, tidak mengerti hubungan antara jawaban pertanyaannya dengan caritaku ini. Padahal aku sudah menyatakan poin utamanya.

"Aku mau jadi putri Bapak yang pintar, bukan gadis bodoh untuk bisa tinggal di Abang." Kutegaskan maksudku.

Iya, selama ini aku memang membodohi diriku. Menganggap akan ada kesempatan bagiku untuk bisa terus berada di sisinya. Sementara kenyataan yang coba untuk kuingkari dengan jelas menolak semua keinginanku.

"Kenapa?" Tanyanya lagi, lirih. Tapi masih mampu menjangkau telingaku.

"Tidak seharusnya aku ada di hidup Abang. Bukan tempatku, Bang." Kataku terbata. Mataku panas, sudah ada air mata yang menggumal di sudut mataku. Siap untuk jatuh dan menunjukkan kelemahanku.

"Aku tidak mau memiliki kebahagiaan semu, berada di sisi Abang, sementara aku tahu seharusnya orang lain yang berada di sana. Kembalilah, Bang, kembalilah pada tunangan Abang." Kataku pada akhirnya meluruhkan pertahanan terakhirku. Air mataku jatuh satu-satu, mengaburkan pandangan mataku.

Dia menarikku dalam pelukannya. Tapi tidak berkata apa-apa. Karena dia pun tahu, yang aku katakan sepenuhnya memang benar.

"Maafkan aku," bisiknya ditelingaku. Membuatku semakin terpuruk.

"Jangan pergi, kumohon. Apa yang harus kulakukan untuk membuatmu tetap ada bersamaku? Haruskah aku membatalkan pertunanganku? Jika begitu maumu, akan kubatalkan.."

Aku memberontak dalam pelukannya. Semudah itukah dia katakan akan membatalkan pertunangan yang telah berjalan dua tahun? Bahkan tanggal pernikahannya pun semakin dekat.

"Tidak, bukan itu mauku. Abang tolong, pikirkan perkataanmu. Bukankah kalian bertunangan karena cinta, kenapa sekarang dengan mudahnya Abang berkata akan membatalkan pertunangan? Coba pikirkan bagaimana perasaannya, Bang."

"Itu dulu, sebelum aku bertemu denganmu. Sekarang, hatiku sepenuhnya hanya berisi namamu." Potongnya mencoba membawaku kembali kedalam pelukannya. Tapi aku menolak.

Mudah sekali dia mengatakan hal itu. Padahal dia baru mengenalku selama empat bulan. Baru empat bulan, dan dia sudah mau memutuskan pertunangannya yang sudah berjalan dua tahun!

"Itu tidak benar!" Jeritku, membuatnya kaget.

"Pikirkan bagaimana dulu Abang jatuh cinta padanya," lirihku dalam isak yang tak bisa kutahan. "Perasaan Abang padaku hanya.. hanya.. hanya perasaan sesaat. Bukan cinta atau apapun yang Abang pikir Abang rasakan padaku!"

"Kumohon, jangan berkata begitu." Desisnya dengan kilat marah yang sangat terlihat.

Baru kali ini aku melihatnya demikian.

"Dengarkan, Abang, aku ingin selamanya menjadi putri Bapak yang pintar. Aku tidak mau kebodohanku ini membuat Bapak kecewa padaku. Aku mau Bapak tetap selalu bangga padaku.." kali ini aku sampai jatuh berlutut dihadapannya.

Flashback end

***
Itu adalah akhir dari pertemuanku dengannya. Aku segera pindah dari kotanya, kembali ke kota kelahiranku yang tidak diketahuinya. Aku mengganti nomor ponselku, mengganti alamat emailku, mengganti akun semua jejaring sosialku. Aku memutuskan semua akses yang bisa membuatnya menemukanku.

Kabar terakhir yang kudengar tentangnya, dia akhirnya menikahi tunangannya itu. See, seperti yang kukatakan padanya..

'Bapak, aku masih putri Bapak yang pintar, kan?'

Kutulis namanya di atas pasir. Tak lama, gulungan ombak datang dan menghapusnya. Sama seperti yang harus aku lakukan di hatiku.

End


Aneh kah?? Maaf.. niatnya mau bikin ode, tapi malah keterusan dan jadi cerita tanpa awalan yang jelas... Hehe,,