Apa-apaan
ini? Kenapa kamu membiarkan orang lain tahu tapi aku tidak kamu beritahu
langsung? Sebenarnya kamu anggap apa aku ini?
Aku
tidak menuntutmu untuk memberitahuku semua tentangmu. Hanya saja, ini juga
menyangkut tentangku, jadi seharusnya aku juga berhak untuk tahu dari kamu
langsung. Bukan karena pembicaraan beantai seperti ini..
=.=.=
“Trisna
benar-benar terbutakan olehmu, Ran.” Kata Yudhi dengan nada tak sabar. Sepertinya
dia beranggapan berita yang dia sampaikan ini harus segera kuketahui.
Kupaksa
otakku memberikan perintah pada jantung untuk tidak memproduksi kelenjar
adrenalin berlebihan, agar tidak memacu keringat dingin keluar, serta menjaga
agar suaraku tidak bergetar. Untuk menyempurnakan semuanya, kusetel wajahku
pada modus normal.
“Segala
yang dia lakukan atau katakan berorientasi padamu.” Lanjutnya tidak sabar,
karena aku tidak memberikan reaksi apapun.
“Ingat,
ketika kita berbeda pendapat tentang lokasi sampel. Sebelum kamu berkata
apapun, dia salah satu yang bersikeras tidak mau melakukannya dari pintu ke
pintu. Tapi lihat setelah kamu berargumen, dia hanya mengangguk dengan mata
menatapmu lekat.”
Oh,
jadi itu.
“Dan
dia membisikkan alasannya padaku, bahwa dia tidak mau menentangmu.”
Final.
Yudhi tidak melanjutkan ceritanya. Baginya itu adalah bagian klimaks penutup. Tinggal
aku yang tercenung sendiri, memikirkan semua ucapan Yudhi.
Sungguh,
kamu benar-benar menyebalkan.
=.=.=
Aku
tidak tahu lagi harus bersikap bagaimana padamu. Sesaat lalu saat aku menahan
diri untuk tidak berkata apapun padamu, jujur kukatakan aku menrindukanmu. Bagaimana
kalau aku benar-benar mencurimu dari kekasihmu? Apakah kamu akan memandangku negatif
karena telah menggodamu dan menjauhkanmu dari manusia cantik yang selama ini
menjadi kekasih hatimu?
=.=.=
“Ran,
coba cek kuisioner yang sudah kususun, apakah sudah cukup?” tanyamu dengan nada
biasa-biasa saja. Seolah kamu tidak pernah membisikkan apapun kepada Yudhi.
Kuterima
file yang kamu berikan, “Cukup. Mungkin kalimatnya bisa lebih disederhanakan.” Kataku
dengan nada biasa-biasa saja. Seolah aku tidak pernah mendengar apapun dari
Yudhi.
Kenapa
kamu bersikap seperti ini padaku?
“Ada
yang mau kamu sampaikan lagi?” tanyaku.
Kamu
menggeleng.
Baiklah,
kalau itu maumu. Aku juga akan mengimbangi sikapmu padaku, seperti kamu
mengimbangi sikapku waktu itu.
“Baiklah,
kalu gitu aku duluan ya.” Kubereskan barang-barangku dan memasukkannya ke dalam
tas.
“Ran,”
panggilanmu menghentikan langkahku.
Aku
berbalik, menghadapmu, menunggu kelanjutan apa yang akan kamu katakan.
Diam.
“Ada
apa?” akhirnya aku bertanya karena kamu terlalu lama membuatku menunggu.
Kamu
masih diam.
“Tidak,
aku lupa apa yang mau kukatakan.”
“Oh,
oke.”
Aku
kembali berbalik dan secepat mungkin berlalu dari hadapamu.
“Ran.”
Kamu kembali memanggilku.
Aku
meneruskan langkahku. Tidak lagi berbalik untukmu.
“Ran.”
Kurasa panggilanmu hanya ada dalam imajinasiku.
=.=.=
Kesekian
kalinya aku menangis karenamu. Aku lelah. Tolong hentikan semuanya kalau kamu
memang berniat memulai apapun. Karena aku tidak pernah berpikir untuk memulai
lebih dulu.
=.=.=