Kamis, 30 Agustus 2012

Aku Bicara Politik

Aku bukan seorang pengamat politik, tidak tahu apa-apa tentang dunia politik, yang aku tahu hanya pandangan polos hitam dan putih.. tidak ada istilah abu-abu.
Aku mengenal politik dari Abah yang seorang politikus lokal dari sebuah partai politik yang katanya pembawa panji reformasi. Saat terjadi pergerakan politik tahun 1998, aku masih terlalu kecil untuk memahami dunia politik yang katanya bisa menghalalkan segala cara. Yang aku tahu, melalui pandangan naif seorang anak yang baru saja duduk di kelas II SD, demonstrasi yang disiarkan dari stasiun TV terlihat keren. Dan seorang tokoh nasional yang memimpin demonstrasi itu, terlihat gagah dimataku.
Tapi panji demokrasi yang diusung dan digembar-gemborkan itu tidak berlaku di rumah mungil kami. Kami masih menganut faham feodal tentang nepotisme. Dimana kami akan mendukung penuh semua keputusan Abah. Kami tidak akan mengecewakan Abah dengan berpaling ke arah lain. Meskipun aku sering bertanya-tanya dimana nilai demokrasi yang katanya kami anut itu lari.
Sampai sekarang hal itu masih terjadi. Segala pandangan politik dalam keluarga sama dengan pandangan politik Abah. Dan aku masih bertanya-tanya kenapa sampai sekarang Abah masih saja tetap setia dengan partai politik yang sama, bahkan setelah berkali-kali Abah dikecewakan.

Dan aku baru mengetahui jawabannya beberapa jam yang lalu. Dari Umi yang tidak kuasa membendung rasa kecewa yang pastinya tidak sebesar yang Abah rasakan.

Abah adalah termasuk golongan pertama yang berani membawa partai itu masuk ke dalam kota kecil kami saat sebuah rezim berkuasa. Saat dimana hanya ada empat warna - kuning, merah, hijau, dan putih (abstain) - dan sebelumnya Abah adalah golongan putih itu. Bagi Abah, yang pernah merasakan pahitnya sebuah rezim, muncul sebuah harapan baru yang dirasa akan membawa perubahan. Dan tidak ada yang menakut-nakuti Abah untuk menyongsong perubahan itu.
Saat semua orang takut untuk terlihat berbeda, Abah justru berani berdiri di garis depan - menawarkan rumah kecil kami sebagai markas. Aku yang saat itu tidak tahu apa-apa, sama sekali tidak menyimpan kenangan apapun. Yang kutahu adalah, Abahku adalah seorang yang tidak takut untuk dikatakan berbeda.
Lalu kemudian, apa yang Abah dapatkan?
Kemasyhuran? Kemakmuran? Dianggap pahlawan?

Jauh..

Abah justru sering makan hati. Sering merasa didholimi. Bukan berarti meminta tanda jasa, hanya saja sudah sepantasnya Abah sedikit dihormati.
Dan akhirnya aku mengerti kenapa Abah tidak pernah berpikir untuk meninggalkan partai politiknya. Karena Abah turut serta dalam proses kelahirannya. Karena Abah ikut membesarkannya. Saat semua orang enggan, Abah dengan besar hati mau menelusuri seluruh daerah pelosok kota untuk menyampaikan perubahan yang akan dibawa bersama.
Mungkin bagi Abah, partai politiknya ini adalah seperti anaknya sendiri. Seperti Mbak Mamah, seperti aku, seperti Dek Nisa'.
Mana mungkin Abah bisa meninggalkan anaknya?

Jadi, aku tidak keberatan dengan pandangan politik nepotisme yang kami anut. Tidak apa-apa kami hanya menuruti keinginan Abah.

Aku sayang Abah..