Rabu, 18 Juli 2012

Cerita Dari Sebuah Masa Chapter #4

Cerita Dari Sisi Sella




17 November
Aku diabaikan. Dan dia menghilang. Enggan atau entah dia memang benar-benar tidak bisa.
Seminggu yang lalu dia bercerita padaku, ada seorang temannya di kelas musik yang menyatakann cinta padanya. Dia bertanya, apa yang harus dia lakukan. Katanya ini bukan kali pertama gadis itu menyatakan rasa sukanya. Dan dia bingung harus bagaimana.


Dan kujawab, itu urusannya. Tidak ada hubungannya denganku, jadi kenapa dia meminta pertimbanganku. Lalu setelah itu, dia menghilang dari peredaran. Namanya tidak pernah muncul kembali dalam segala riwayat jendela yang kubuka.
Aku sudah mencoba untuk mengiriminya pesan, melalui media apapun yang bisa kugunakan, tapi di atidak pernah merespon. Bahkan terakhir kukuatkan diriku untuk menghubungi nomornya yang terakhir dia gunakan untuk menghubungiku di hari ulang tahunku. Hasilnya nihil. Bukan karena pulsaku yang tidak mencukupi untuk sebuah sambungan ke luar negeri, tapi karena nomor yang aku hubungi tidak bisa ditemukan.
Aku lelah. Satu minggu dalam rasa resah.
Tunggu, apa yang sebenarnya aku resahkan?
Apakah aku merasa bersalah?
Memangnya siapa dia hingga bisa membuatku merasa bersalah?

***
26 November
Dia masih tanpa kabar.
Semalam aku bermimpi, tentang dia.
“Sella,” dia memanggil namaku, tersenyum. Lalu mundur perlahan, menjauh.
Aku memintanya untuk tidak terus menjauhiku, tapi dia terus mundur, masih dengan tersenyum.
“Dafin, berhenti..” akhirnya aku memintanya. Mencoba memotong jarak yang dia ciptakan.
Dia berhenti, tapi hanya sesaat. Dia tersenyum dan kembali melangkah mundur dengan memandangku.
Mataku nanar, tidak bisa lagi melihatnya dengan jelas. Air mataku tumpah. Dan aku tidak bisa menemukannya dari balik tirai air mata yang mengaburkan pandanganku.
“Dafin, kumohon jangan pergi..” aku terisak lirih.
Dan tangisku kubawa hingga ke alam nyata.

***
28 November
Aku bertanya-tanya kepada diriku. Seberapa pentingnya kah Dafin untukku? Sampai-sampai aku resah dan gelisah saat dia hilang tanpa kabar seperti ini.
Kuingat-ingat lagi, ini bukan kali pertama kami dekat, lalu dia menjauh tiba-tiba.
Dalam keterbatasan memori yang kumiliki, ini adalah kali ketiga siklus ini terjadi.
Baiklah aku akan mulai bernostalgia.

Dulu, saat aku masih sering mengenakan rok warna abu-abu, pada tahun pertama kami dekat. Kami teman diskusi film dan dia rela mengajariku musik meski dia tahu sepenuhnya aku buta musik.
Kuhargai kebesaran hatinya mengajari seorang amatir yang ingin belajar membaca partitur dengan benar. Dan dia tidak mau menerima pujianku begitu saja, justru dia balik memujiku. Kuuingat betul kata-katanya waktu itu.
“Kamu itu bukannya buta, tapi kamu menutup mata. Bahkan sebenarnya telingamu lebih sensitif. Kalau boleh kubilang, kamu itu punya titi nada mutlak. Yang selalu berkomentar tentang ketidakharmonisan komposisi irama kamu, bukan aku.”
Saat kutanya apa itu titi nada mutlak, dia hanya tertawa. Enggan menjawab pertanyaanku.
“Intinya, telingamu itu spesial untuk urusan bermusik. Bukannya kamu bisa membandingkan melodi hanya dengan sekali dengar.”
Harus kuakui itu benar, aku memang sering membandingkan melodi. Karena aku adalah seorang anti plagiat, jadi aku bisa merasakan apakah melodi ini pernah kudengar sebelumnya dengan dibawakan oleh musisi berbeda atau tidak.
Dan delepan bulan telah berlalu sejak saat itu. Kami menempati ruang kelas kami yang baru. Bukan meja seukuran nol koma tujuh puluh lima meter persegi yang memisahkan kami, tetapi sebuah lapangan rumput selebar empat puluh lima meter. Kelas kami berhadapan.
Tidak ada lagi diskusi tentang film. Tidak ada lagi pelajaran music. Tidak ada lagi obrolan jeda pelajaran. Kami sibuk dengan dunia kami yang baru.

Lalu, saat aku untuk pertama kalinya mengenakan kebaya untuk menghadiri upacara kelulusan. Aku diingatkan akan betapa dulu kami begitu dekat. Senyumannya masih sama. Cara bicaranya masih sama. Dan bahkan dia masih mengingat detail tentangku.
Dia membuat duniaku kembali terbiasa dengan kehadirannya. Meskipun kemudian kudengar kabar, bahwa dia akan pergi jauh. Sejauh mataku tidak akan bisa menangkap bayangannya. Sejauh telingaku tidak akan bisa mendengar suaranya.
Yang aku rasakan waktu itu hanyalah hampa. Seoalah-olah dia telah menempati satu ruang tersendiri, dan saat dia berkata akan ‘pergi’, aku hanya bisa menatap nanar.

Kemudian, dia meyakinkanku bahwa ketidakmampuan mata dan telingaku bisa terwakili oleh benda berteknologi tinggi. Dan kuterima pernyataannya. Toh selama ini, aku memang tidak pernah merasa dia jauh dariku. Kubayangkan bahwa dia tetap dalam radius jangkauanku.
Untuk pertama kalinya dia berani memanggilku dalam sebutan ‘sayang’. Aku abaikan karena bukan itu yang penting. Yang terpenting adalah bahwa aku tidak merasa dia jauh meskipun kenyataannya dia jauh. Yang terpenting adalah aku tahu dia ada. Yang terpenting adalah aku masih bisa mengandalkannya meskipun sebenarnya aku mampu untuk melakukannya sendiri.
Dan aku tidak pernah membalas sebutan ‘sayang’nya. Dan aku enggan saat dia mulai mencoba membahasakan perasaannya.
Akhirnya, dia menghilang dari peredaran.

Jadi pertanyaannya masih sama. Seberapa pentingnya Dafin untukku?
Aku bingung akan keberadaannya, iya itu benar.
Aku merasa kehilangan, iya itu benar.
Aku merasa sayang, aku tidak tahu.
Aku merasa dia sudah menjadi bagian hidupku, aku juga tidak tahu
Aku merasa dia merupakan bagian terpenting, aku masih tidak tahu

***
1 Desember
Dafin masih belum memberi kabar, tetapi ada yang lebih mengherankanku.
“.. agar aku bisa menentukan sikap. Apakah aku harus tetap menjadi temanmu atau sebagai orang yang menyukaimu.”
Ah, kenapa dia mengatakan hal itu saat aku sedang ‘mencari’ Dafin.. apa dia memang berencana untuk membebani pikiranku.
Tapi, kurasa ada pembenaran dalam pernyatannya.
Ah, sudahlah. Aku bingung…

***
5 Desember
Dafin masih hilang dari peredaran.
Dan Ardi turut menyembunyikan diri.
Ah, apa-apaan mereka ini. Kenapa mereka berkoalisi untuk membuat kepalaku pusing.
Mungkin harus kuralat kalimatku. Ardi tidak sedang menyembunyikan diri dalam arti yang sebenarnya, tetapi dia sedang mengikuti kejuaraan di Kalimantan sana, dan dia ingin memberiku waktu untuk berpikir sendiri.

Berpikir? Berpikir apa?

Tentu saja tentang Ardi.

Kumatikan kerja otakku yang memproses tentang Dafin selama hampir tiga minggu terakhir. Dan kuhidupkan saklar baru untuk mulai berpikir tentang Ardi.
Sudah dua hari dia pergi, dan hampir-hampir aku kehilangan orientasi selama kuliah. Biasanya dia ada dalam jarak pandangku dan ringan saja membantuku menyelesaikan rancangan desain.
Tapi sejak pernyataannya waktu itu, dia tidak muncul di hadapanku. Katanya dia akan memberiku waktu untuk sendiri, memanfaatkan kesempatan kepergiannya untukku merenung.
“Maaf kalau aku menambah beban pikiranmu, tapi kumohon bantulah aku untuk menentukan sikapku padamu. Aku akan tetap ada untukmu, tapi prioritas yang kuberikan akan kusesuaikan dengan jawabanmu nanti.”

Aaah, kenapa para laki-laki itu suka sekali menjadi objek berpikir…….

***
 

6 Desember
Dan aku masih belum mendapat jawaban yang Ardi inginkan.
Dia benar-benar menepati janjinya untuk tidak menggangguku hingga dua minggu ke depan. Dia sama sekali tidak mengirimiku pesan. Aku bahkan tidak menemukan aktivitasnya di sunia maya.
Bolehkah aku berpikir egois dan menyatakan bahwa yang dia lakukan adalah untukku alih-alih bahwa sebenarnya dia memang sangat sibuk dengan kejuaraannya dan tidak sempat memperbarui informasi tentang dirinya.
Baiklah, seperti yang kukatakan, aku hanya berharap.

Dari mana aku harus memulainya..

Selama ini aku tidak pernah berpikiran macam-macam tentangnya. Jadi aku tidak tahu dari mana harus mulai berpikir.

Ardi.
Kedekatan kami terjadi begitu saja, menurutku. Dia memiliki kemampuan untuk membuat orang lain merasa nyaman, termasuk aku. Sikapnya selalu sama kepada semua orang, itulah kenapa aku bingung kenapa dia bisa menyukaiku dan aku tidak menyadarinya. Perlakuannya padaku tidak jauh beda dengan perlakuannya ke Lulu, misalnya.

Dan sama dengan Dafin, Ardi mampu membuatku terbiasa akan keberadaannya. Bahkan kepergiannya – yang berbeda dengan Dafin – juga membuatku merasa kehilangan. Meskipun aku tahu dimana dia dan apa yang dia lakukan. Tapi aku masih belum bisa memutuskan bagaimana rasa kehilangan ayang aku rasakan ini.

***
10 Desember
Bodohnya aku….
Aku baru sadar bahwa aku benar-benar egois. Apa yang aku lakukan sekarang. Mencoba membandingkan Dafin dan Ardi. Apa yang coba kubandingkan? Perasaanku pada mereka?
Yang ada dalam pikiranku selama memikirkan hal ini adalah aku sebagai pusat segalanya. Padahal bukankah baik Dafin maupun Ardi memiliki pusat kehidupan masing-masing, dan kurasa akan berlebihan kalau aku bilang akulah pusat kehidupan mereka.

Kenapa tidak mulai kucoba, menempatkan mereka berdua sebagai pusatnya. Bukan aku.
Okay, let’s try

***