Kamu
datang kepadaku dengan segudang cerita yang selalu kunanti. Ceritamu dengannya.
Dalam
anganku, kureka adegan ceritamu dengannya sebagai adegan ceritaku sendiri. Aku
yang menjadi tokoh utamanya bersamamu, bukan dia. Kamu boleh bilang aku gila,
terserah. Yang pasti aku menjadi gila karenamu. Jadi kalau kamu ingin
menyalahkan seseorang, salahkanlah dirimu yang telah membuatkku gila.
Kamu
tahu, berapa banyak kuhabiskan malam untuk memikirkanmu?
Bukan
maksudku untuk berangan tentangmu, tapi kamu datang tiba-tiba tanpa kuminta,
menyusup masuk dalam rongga sel-sel otakku yang sulit mencerna tentang
mekanisme fluida yang katamu mudah.
Dan
aku akan menyebutmu sebagai penjajah. Karena kamu telah menjajah pikiran dan
hatiku. Memonopolinya hanya untukmu. Bukankah Proklamator kita bilang, bahwa
penjajahan di atas dunia ini harus dihapuskan[1]?
Lalu kenapa kamu masih berkehendak untuk menjajahku – hati dan pikiranku.
Celaka.
Aku sudah jatuh dalam pesonamu.
Aku
ingat, kamu pernah menjanjikan itu padaku, “Awas hati-hati, aku tidak bisa
membendung pesonaku. Jangan salahkan aku kalau kamu jatuh cinta padaku.” Saat
itu kamu mengatakannya dalam nada penuh gurau.
Dan
waktu itu, dengan santai kutanggapi banyolanmu dengan senyuman mengejek, “Apa?
Jatuh cinta padamu? Tenang saja, selama mataku masih normal aku tidak akan
jatuh dalam perangkap pesonamu.”
Jika
menilik kembali pada percakapan kita, kuasumsikan bahwa sekarang mataku sudah
tidak normal. Oh, bukan tapi seluruh tubuhku tidak normal. Karena semua organku
telah terpesona olehmu.
=.=.=
Walau hanya hatimu yang mengakui, itu tetap sebuah kebohongan. Walau hanya
hatimu yang mulai berpaling, itu tetap sebuah penghianatan.
Itu tertulis dalam akun jejaring sosialmu. Ada
sesuatu yang menusuk dalam dadaku. Antara kesal, cemas, dan antusias. Apa
maksudmu dengan menulis kalimat seperti itu, aku tidak bisa menebak isi
kepalamu.
Dan kembali kurangkai angan akan kebersamaan
yang serupa fatamorgana. Itu seperti candu dalam kerinduan tak berujung dan tak
terungkap ini. Sangat manis, tapi beracun, benar-benar berbahaya. Merubahku
menjadi seorang munafik yang mengharapkan apa yang kuingkari melalui lisanku.
=.=.=
Oh,
berhentilah tersenyum seperti itu padaku. Bisa-bisa aku bertindak ceroboh,
misalnya aku akan merebutmu dari pelukan kekasihmu yang cantik itu. Dan
nantinya aku akan membelenggumu dengan rasa sukaku yang tidak boleh kau tolak.
Tapi selama akal sehatku masih memiliki kadar jauh lebih daripada egoku, kau
boleh menenangkan dirimu. I’m in
control..
Dan
terus memikirkanmu membuatku harus meluangkan lebih banyak waktu untuk
memastikan pekerjaan yang kulakukan sesuai dengan yang seharusnya, aku harus
dua kali melakukannya agar aku yakin aku tidak melakukan kesalahan. Ini
benar-benar membuang waktu.
Seharusnya
tugas seperti ini akan kuselesaikan dalam waktu kurang dari satu jam. Namun
kenyatannya sekarang, bahkan untuk menyambung kalimat keterangan saja aku harus
memutar otak lebih keras.
Kamu
benar-benar sebilah pedang bermata dua. Di satu sisi dengan memikirkanmu aku
akan mendapatkan ketenangan batin, tapi di sisi lain memikirkanmu membuat
hidupku di alam nyata berantakan.
Haruskah
aku mengajukan gugatan kepadamu?
Jika
ya, maka lagi-lagi aku harus bertanya padamu. Dimana aku bisa menemukan
pengacara yang baik. Yang mau mengerti dan memahami apa yang aku alami.
Jika
tidak, ah, aku masih akan menemuimu.
Lihatlah,
kamu menguasaiku. Apapun yang terjadi, aku akan berlari padamu. Selalu. Kamu
telah menjadi rumahku. Tempatku kembali bagaimanapun keadaanku.
Tapi
tidak boleh. Karena kamu sudah menjadi rumah bagi orang lain.
Aku
adalah seorang pencemburu yang serakah. Jika benar kamu adalah rumahku, maka
tidak akan kubiarkan seorangpun berbagi denganku. Jadi kalau benar kamu menjadi
rumahku, maka yakinkanlah dirimu dan aku bahwa hanya aku seorang yang tinggal.
=.=.=
Aku
terbangun dari tidurku. Kaget dengan apa yang muncul dalam mimpiku barusan.
Kamu
dengan sebuah buket bunga anggrek kesukaanku. Dan itu untukku. Kamu
memberikannya padaku. Betapa kamu membuatku tidak bisa berkata-kata bahkan
didalam mimpi. Apa-apaan ini..
“..
Meskipun begitu, bukan berarti kamu melarangku mendekatimu kan?” tantangmu
dengan nyala matamu yang tajam. Oh, jangan menatapkuseperti itu, aku tidak kuat
bertatapan mata dengan mata elangmu.
Oh
ya, aku memang menjulukimu ‘mata elang’. Belum pernah kukatakan padamu, dan aku
tidak berencana mengatakannya. Entah alasan apa yang membuatku berpikir
demikian, tapi kalau kupikir-pikir kamu memang pantas mendapat julukan ‘mata
elang’. Karena tatapan matamu tajam seperti elang.
Kembali
ke adegan mimpiku tadi.
Aku
tidak mengatakan apapun sebagai jawaban atas perkataanmu tadi. Aku bahkan tidak
berani menatap matamu, walau kita duduk berhadapan. Betapa penakutnya aku.
Dan
kita masih duduk berhadapan sampai aku terbangun dari tidurku.
=.=.=
Kuputuskan
untuk menghindarimu sebisa mungkin. Betapa pengecutnya aku. Aku tidak keberatan
kalau kamu memang akan menganggapmu demikian.
Aku
memang seorang pengecut. Aku tidak mampu mengatasi perasaanku sendiri dan
memilih melarikan diri.
Aku
selalu menjauh saat kamu mendatangiku. Aku tidak pernah membalas sapaanmu. Aku
pura-pura tidak mendengar pertanyaanmu. Aku tidak pernah lagi tersenyum padamu.
Aku mengabaikan panggilan telepon dan SMS-mu. Aku acuh pada akun jejaring
sosialku karena penuh oleh pesan darimu. Aku enggan datang dalam segala
pertemuan yang mungkin akan kamu datangi.
Jangan
Tanya betapa lelahnya aku. Aku lelah. Sangat lelah.
Dan
kamu mulai merespon segala usahaku.
=.=.=