Rabu, 18 Juli 2012

RINQUEST: SCENE #3 DATANG TAK DIUNDANG


Kamu datang kepadaku dengan segudang cerita yang selalu kunanti. Ceritamu dengannya.
Dalam anganku, kureka adegan ceritamu dengannya sebagai adegan ceritaku sendiri. Aku yang menjadi tokoh utamanya bersamamu, bukan dia. Kamu boleh bilang aku gila, terserah. Yang pasti aku menjadi gila karenamu. Jadi kalau kamu ingin menyalahkan seseorang, salahkanlah dirimu yang telah membuatkku gila.
Kamu tahu, berapa banyak kuhabiskan malam untuk memikirkanmu?
Bukan maksudku untuk berangan tentangmu, tapi kamu datang tiba-tiba tanpa kuminta, menyusup masuk dalam rongga sel-sel otakku yang sulit mencerna tentang mekanisme fluida yang katamu mudah.
Dan aku akan menyebutmu sebagai penjajah. Karena kamu telah menjajah pikiran dan hatiku. Memonopolinya hanya untukmu. Bukankah Proklamator kita bilang, bahwa penjajahan di atas dunia ini harus dihapuskan[1]? Lalu kenapa kamu masih berkehendak untuk menjajahku – hati dan pikiranku.
Celaka. Aku sudah jatuh dalam pesonamu.
Aku ingat, kamu pernah menjanjikan itu padaku, “Awas hati-hati, aku tidak bisa membendung pesonaku. Jangan salahkan aku kalau kamu jatuh cinta padaku.” Saat itu kamu mengatakannya dalam nada penuh gurau.
Dan waktu itu, dengan santai kutanggapi banyolanmu dengan senyuman mengejek, “Apa? Jatuh cinta padamu? Tenang saja, selama mataku masih normal aku tidak akan jatuh dalam perangkap pesonamu.”
Jika menilik kembali pada percakapan kita, kuasumsikan bahwa sekarang mataku sudah tidak normal. Oh, bukan tapi seluruh tubuhku tidak normal. Karena semua organku telah terpesona olehmu.

=.=.=


Walau hanya hatimu yang mengakui, itu tetap sebuah kebohongan. Walau hanya hatimu yang mulai berpaling, itu tetap sebuah penghianatan.
Itu tertulis dalam akun jejaring sosialmu. Ada sesuatu yang menusuk dalam dadaku. Antara kesal, cemas, dan antusias. Apa maksudmu dengan menulis kalimat seperti itu, aku tidak bisa menebak isi kepalamu.
Dan kembali kurangkai angan akan kebersamaan yang serupa fatamorgana. Itu seperti candu dalam kerinduan tak berujung dan tak terungkap ini. Sangat manis, tapi beracun, benar-benar berbahaya. Merubahku menjadi seorang munafik yang mengharapkan apa yang kuingkari melalui lisanku.

=.=.=

Oh, berhentilah tersenyum seperti itu padaku. Bisa-bisa aku bertindak ceroboh, misalnya aku akan merebutmu dari pelukan kekasihmu yang cantik itu. Dan nantinya aku akan membelenggumu dengan rasa sukaku yang tidak boleh kau tolak. Tapi selama akal sehatku masih memiliki kadar jauh lebih daripada egoku, kau boleh menenangkan dirimu. I’m in control..
Dan terus memikirkanmu membuatku harus meluangkan lebih banyak waktu untuk memastikan pekerjaan yang kulakukan sesuai dengan yang seharusnya, aku harus dua kali melakukannya agar aku yakin aku tidak melakukan kesalahan. Ini benar-benar membuang waktu.
Seharusnya tugas seperti ini akan kuselesaikan dalam waktu kurang dari satu jam. Namun kenyatannya sekarang, bahkan untuk menyambung kalimat keterangan saja aku harus memutar otak lebih keras.
Kamu benar-benar sebilah pedang bermata dua. Di satu sisi dengan memikirkanmu aku akan mendapatkan ketenangan batin, tapi di sisi lain memikirkanmu membuat hidupku di alam nyata berantakan.
Haruskah aku mengajukan gugatan kepadamu?
Jika ya, maka lagi-lagi aku harus bertanya padamu. Dimana aku bisa menemukan pengacara yang baik. Yang mau mengerti dan memahami apa yang aku alami.
Jika tidak, ah, aku masih akan menemuimu.
Lihatlah, kamu menguasaiku. Apapun yang terjadi, aku akan berlari padamu. Selalu. Kamu telah menjadi rumahku. Tempatku kembali bagaimanapun keadaanku.
Tapi tidak boleh. Karena kamu sudah menjadi rumah bagi orang lain.
Aku adalah seorang pencemburu yang serakah. Jika benar kamu adalah rumahku, maka tidak akan kubiarkan seorangpun berbagi denganku. Jadi kalau benar kamu menjadi rumahku, maka yakinkanlah dirimu dan aku bahwa hanya aku seorang yang tinggal.

=.=.=

Aku terbangun dari tidurku. Kaget dengan apa yang muncul dalam mimpiku barusan.
Kamu dengan sebuah buket bunga anggrek kesukaanku. Dan itu untukku. Kamu memberikannya padaku. Betapa kamu membuatku tidak bisa berkata-kata bahkan didalam mimpi. Apa-apaan ini..
“.. Meskipun begitu, bukan berarti kamu melarangku mendekatimu kan?” tantangmu dengan nyala matamu yang tajam. Oh, jangan menatapkuseperti itu, aku tidak kuat bertatapan mata dengan mata elangmu.
Oh ya, aku memang menjulukimu ‘mata elang’. Belum pernah kukatakan padamu, dan aku tidak berencana mengatakannya. Entah alasan apa yang membuatku berpikir demikian, tapi kalau kupikir-pikir kamu memang pantas mendapat julukan ‘mata elang’. Karena tatapan matamu tajam seperti elang.
Kembali ke adegan mimpiku tadi.
Aku tidak mengatakan apapun sebagai jawaban atas perkataanmu tadi. Aku bahkan tidak berani menatap matamu, walau kita duduk berhadapan. Betapa penakutnya aku.
Dan kita masih duduk berhadapan sampai aku terbangun dari tidurku.

=.=.=

Kuputuskan untuk menghindarimu sebisa mungkin. Betapa pengecutnya aku. Aku tidak keberatan kalau kamu memang akan menganggapmu demikian.
Aku memang seorang pengecut. Aku tidak mampu mengatasi perasaanku sendiri dan memilih melarikan diri.
Aku selalu menjauh saat kamu mendatangiku. Aku tidak pernah membalas sapaanmu. Aku pura-pura tidak mendengar pertanyaanmu. Aku tidak pernah lagi tersenyum padamu. Aku mengabaikan panggilan telepon dan SMS-mu. Aku acuh pada akun jejaring sosialku karena penuh oleh pesan darimu. Aku enggan datang dalam segala pertemuan yang mungkin akan kamu datangi.
Jangan Tanya betapa lelahnya aku. Aku lelah. Sangat lelah.
Dan kamu mulai merespon segala usahaku.

=.=.=


[1] Cuplikan naskah pembukaan UUD 1945