Kamis, 08 November 2012

Oleh-oleh #1 : Frame

Dan aku menyalahkan dia karena akhirnya malah bikin aku menghayal *bukannya nyelesain variabel penelitiankuuuh >\\\///<* #garuktembok
Tapi karena sudah kelanjur juga,, happy reading semuanyaa....
Nggak tau kejadian ini beneran seperti yang dia katakan atau tidak,, tapiii setelah masuk kedalam bis menuju tempat makan, aku jadi punya inspirasi untuk menulis cerita ini *bagaimana dengan cerita lainnya?* *ah, nanti saja!*
Oh, iya... FYI,, ini cerita oleh-olehku setelah KKL dari Surabaya untuk kalian semuaaa...... :')

Kamera. Kotak ajaib yang bisa membekukan momen tertentu dan mengehantikan waktu. Aku menyukainya; mencintainya; dan sepertinya akan sulit melanjutkan hidupku tanpanya. Sejak mengenal tentang dunia fotografi, aku enggan beranjak dan terus saja menekan tombol untuk mengabadikan beragam kejadian yang tertangkap mataku. Manusia memiliki ingatan yang terbatas, dan melalui kamera, kita dibantu untuk menyimpannya lebih lama. Kuanggap selembar foto itu sebagai kata kunci untuk membuka kenangan.


* * *
Selalu saja begini. Setiap kali akan turun hujan, kotaku ini serasa ruang sauna dalam ukuran raksasa. Suhu udara di luar ruangan bisa mencapai 40 derajat celsius, sama seperti sekarang.
"Kita akan bermain-main dengan cahaya lampu yang ada, jadi gunakan saja fitur-fitur yang sederhana. Dilarang mengedit hasil gambar, karena yang mau kita tunjukkan adalah orisinalitas." Jelasku, lalu kulanjutkan dengan pembagian lokasi untuk setiap orang.
Ah, kurasakan semangatku membuncah. Menyenangkan sekali saat kita diberi anugrah untuk bergelut dengan dunia yang disuka. Seperti aku. Bahkan aku melupakan keluhan-keluhanku tentang panasnya suhu kota kami akhir-akhir ini, saat berbicara mengenai fotografi diruangan 3 x 3 meter dengan lima belas orang berjejalan didalamnya.
Oh iya, lupa kukatakan. Yang kubahas tadi adalah mengenai jobdesk untuk penyusunan majalah fotografi yang diterbitkan secara indie di jurusan kami, Diskomfis ITS. Dibanding majalah, mungkin orang awam akan mengatakannya sebagai album foto, karena memang hanya berisi foto-foto tanpa narasi deskripsi. Tapi bagi orang-orang yang mencintai fotografi, hanya dengan melihat hasil jepretan kamera, akan tertangkap cerita yang hendak disampaikan, lebih jauh lagi bahkan bisa tahu teknik pengambilan gambar yang digunakan.

* * *
Ini bukan pertama kalinya aku datang kemari. Meski dapat kukatakan aku jarang datang kemari malam-malam begini. Dan malam sepertinya bukan pilihan yang baik, karena bukan jam ramai taman di tepi Kali Mas ini.
"Aku punya permen, mau?" sebuah suara menghentikan langkahku yang tadinya ingin mulai mengambil gambar dari dermaga.
Bukan, suara itu bukan berbicara kepadaku, tapi tidak tahu apa ada sesuatu yang membuatku berhenti melangkah. Suaranya? Suasananya? Objeknya? Aku tidak tahu.
Kutemukan empat objek yang terlibat disana. Seorang gadis yang tengah berjongkok membagikan permen yang ada di tangannya kepada tiga orang anak kecil. Dengan keadaan pencahayaan yang temaram seperti ini, aku tidak tahu apa yang sebenarnya dia bagikan. Kukatakan permen karena dia yang tadi mengatakannya. Selain bungkus permen, sepertinya aku juga melihat kamera ditangannya. Dan tebakanku dibenarkan oleh wadah kamera yang tergantung di lehernya.
Untuk beberapa saat, kulihat dia asik saja berkata-kata dengan ketiga anak yang baru ditemuinya. Aku berani menjamin itu dari pertanyaan dan jawaban yang saling mereka lontarkan. Beberapa kali kudengar dia tertawa. Suara tawa yang mengundang orang lain untuk ikut tertawa juga.
Oh, dia bangkit dan hendak beranjak. Dari posisiku sekarang, agak susah untuk melihat wajahnya. Dia berjalan beberapa langkah, "Sudah ya.." katanya terdengar ramah.
"Kamu lihat Yima?" tanyanya pada seseorang yang sepertinya dia kenal. Nada suaranya terdengar akrab.
Hei, hei, apa yang kulakukan? Aku harus segera mengambil gambar. Kalau tidak aku akan terlambat pulang, karena setelah ini masih ada yang harus kulakukan.
Kulangkahkan kakiku lagi, tapi baru setengah jarak yang kureduksi dari jarakku semula menuju dermaga, lagi-lagi aku mendengar suaranya.
"..itu beli dimana?" tanya suara kecil.
"Ini?" dia menujukkan sesuatu yang dipegang, seperti stick sepanjang lebih kurang 15 cm. Kulihat si gadis kecil mengangguk. Posisiku kali ini, aku memang bisa melihatnya dengan lebih jelas. Aku berdiri sekitar enam meter dari tempat mereka, dan kuhadapkan tubuhku kesana. Jadi sekarang aku bisa melihat ekspresi wajah si gadis.
"waah, aku nggak tahu.. ini dibelikan adikku.." jawabnya dengan menggaruk sebagian lehernya. Jenis garukan leher bukan karena gatal, tapi karena gugup. Kenapa dia gugup?
Si gadis kecil yang mnejadi lawan bicaranya terdengar menggumamkan tanggapan kecewa.
"Kamu mau tempatnya?" tanyanya diiringi sebentuk senyuman. Aku jadi ikut tersenyum mendengarnya, entah apa alasannya.
"Ini masih ada permennya, tapi cuman satu.." katanya menyesal menatap tiga bocah yang ada dihadapannya.
Si gadis kecil mengangguk semangat, "Mau."
"Aku mau permennya,"
"Aku mau permennya,"
Kedua temannya berebut.
"Waah, jangan rebutan.. ini tinggal satu." Katanya panik. Aku tertawa tanpa suara melihat adegan ini.
"Yang gede ngalah ya.." ujarnya lalu berlutut untuk memberikan wadah permen yang dia pegang.
Si gadis kecil langsung menerima dan segera mengamannya dari gangguan usil teman-temannya ke dalam mulut. Haha, dia menang.
"Maaf, cuman punya itu.." ujarnya menyesal.
"Kamu dari mana?" tanya salah satu dari ketiga bocah itu, tapi bukan si gadis kecil yang tadi diberi wadah permen.
"Solo." Jawabnya, sambil tersenyum, lagi-lagi dia berkata dengan disertai senyuman.
Solo, ulangku dengan pengucapan tanpa suara.
"..Solo iku musuhe Bonek.."
"Hei, dilarang musuh-musuhan. Nggak ada yang namanya musuh-musuhan!" dia membantah dengan wajah tegas, meskipun masih tersisa sebentuk senyuman di wajahnya.
Aku terhenyak mendengarnya. Ah, apa yang membuatku menunggu disini..
"..aku foto dulu.." sepertinya dia akan berpamitan.
Dari caranya mengambil foto, bisa kukatakan dia ini bisa melihat dengan baik, meskipun masih amatir. Maksudku melihat foto dengan baik. Karena dia menyejajarkan kameranya dengan objek yang dia foto, bukannya memotret dari jangkauan pandangnya. Objek yang dia tuju adalah ketiga bocah yang duduk didepannya, bukan panorama taman yang tidak jelas karena gelap.
Aku kembali melanjutkan langkahku saat dia sudah berlalu dari hadapan ketiga bocah. Kemudian aku ingat satu hal yang sangat penting. Aku lupa mengabadikan momen yang kusaksikan barusan!!!
Aku kembali berbalik, dia sudah menjauh dan bercengkrama dengan teman-temannya. Photo session, dia berdiri di sisi kiri, tapi kemudian berlutut dan menempatkan diri di bagian depan. Sebuah senyuman lebar menghiasi wajahnya. Kuarahkan lensa kameraku padanya.
Jepret.
Aku juga ikut mengabadikan gambarnya.
Hmm, Solo. Gumamku sambil berbalik. Kali ini aku yakin aku tidak akan berbalik untuk berhanti lagi.

* * *

>////\\\\< salahkan dia karena merecokiku dengan cerita yang menjadi dasar imajinasiku kali ini.. *karunia Allah bahwa imajinasiku itu liar, kadang menyusahkannku sendiri, karena aku sulit untuk mengendalikannya >///\\\<* jangan salahkan aku kalau muncul sekuelnya yaa.... :p
Dan sekarang waktunya untuk kembali pada variabel penelitiaan...