Kamu terbangun dari tidurmu dengan nafas berkejaran
memburu. Keringat membanjiri tubuhmu satu-satu. Perlahan air matamu mengalir
karena alasan yang hanya kamu yang tahu.
Mimpimu terasa begitu nyata. Bahkan kamu masih bias
merasakan hangat tangannya menggenggam lembut jemarimu. Kamu terisak pelan,
mencoba tidak membuat suaramu membangunkan seisi rumah.
“Jangan. Tidak enak jika dilihat orang.” Kamu mencegah
saat dia hendak menggenggam tanganmu.
“Biar saja semua orang melihat.” Jawabannya membuat
mulutmu bungkam. Meski begitu rona merah pada kedua pipimu sudah mewakilimu
menjelaskan semua perasaanmu.
Kamu masih menangis. Karena dialog yang begitu
menggetarkan hati itu hanyalah sebuah bunga tidur belaka.
“Kenapa aku menangis? Apa yang aku tangisi?” kamu
bertanya kepada dirimu sendiri.
==
“Menurutmu bagaimana, Yas?” Arsa menanyakan
pendapatmu.
Kamu tidak berani menatap mata Arsa saat berkata, “Kita
tetap harus memakai metode kuantitatif, karena harus ada perhitungan mengenai analisis
proyeksi jumlah pengguna transportasi massal. Jadi nanti kita pakai gabungan
kuantitatif dan kualitatif.” Pandanganmu kamu tujukan pada coretan gambar yang
memenuhi lembaran HVS, hasil karyamu selama setengah jam terakhir.
“Lalu untuk kelengkapan data, apa kita perlu
membagi kuisioner?” Arsa memancing pendapatmu.
Sebelum menjawab, kamu menghela nafas. “Iya.”
“Oke, kalau begitu minta tolong kamu yang
menyiapkan ya.” Pinta Arsa.
Kamu mengacungkan jempol kananmu, masih tanpa
berani menatap mata Arsa. Karena pikiranmu masih dipenuhi oleh adegan mimpimu
semalam.
“Kamu kenapa, Yas?” Arsa bertanya. Rupanya dia
memperhatikan sikapmu yang lain dari biasanya.
Kamu menggeleng lemah. “Nggak pa-pa kok. PMS.” Kamu
berlasan. Alasan yang benar-benar kamu karang. Untuk meyakinkannya kamu
memamerkan sebentuk senyum.
Arsa percaya dengan sandiwaramu dan tidak
mempermasalahkannya lebih lanjut. Tapi kamu masih memikirkan apa yang terjadi
pada dirimu sendiri.
==
Cantika bercerita padamu tentang sikap Arsa
padanya. Nafasmu sesak karenanya. Tapi kamu berkata pada Cantika, “ Taruhan,
nggak sampai seminggu dia bakal nembak kamu.”
“Hahaha,” Cantika menertawakan perkataanmu. Menganggap
kamu hanya bergurau, tanpa dia tahu bahwa berat bagimu untuk mengatakannya. Lalu
kemudian suara tawanya hilang, “Aku takut kalau aku cumin GR sendiri, Yasmin.” Dia
berkata pilu.
“Nggak masalah, kan GR itu indah.” Candamu, berhasil membuat
Cantika tersenyum dan hatimu jadi gerimis.
Tidak boleh.
Kamu menegaskan kepada dirimu
sendiri. Cantika mengharapkan Arsa, kamu
harus membuang perasaan anehmu itu jauh-jauh.
==
Kamu menatap makanan di hadapanmu tanpa memiliki
selera untuk menyantapnya. Seharusnya kamu merasa lapar setelah berkeliling
membagikan kuisioner kepada orang-orang di jalan. Tapi tidak, nafsu makanmu
sudah hilang entah kemana.
“Yasmin, makananmu dingin tuh.” Arsa mengingatkanmu.
Piringnya sendiri sudah hampir bersih dari gado-gado yang dia pesan tadi.
Kamu menatap soto ayam yang baru kamu makan dua
suap. “Iya.” Jawabanmu singkat.
“Kamu nggak pa-pa, Yasmin?” Tanya Arsa sdengan nada
cemas.
Hatimu tergetar. Cara Arsa menanyakan keadaanmu
begitu lembut, membuatmu melayang mengingat adegan dalam mimpimu tempo hari. Tiba-tiba
dalam kepalamu terbayang wajah Cantika. Jangan
berharap. Cantika mengharapkan Arsa. Kamu membatin.
“Udah yuk,” katamu.
Arsa menatapmu heran, memandang mangkuk sotomu yang
masih penuh. “Makananmu nggak dihabisin?”
Kamu menggeleng lalu berdiri dan berjalan menuju
meja kasir. Membuat Arsa terpaksa mengikutimu.
==
Kamu berusaha menghapus jejak air mata darti pipimu
dengan selimut karena stock tisumu sudah habis. Meskipun usahamu ini sia-sia
karena air matamu masih terus luruh dari sudut mata membanjiri wajahmu. Kamu terisak
pelan, kambali membaca sebaris kalimat. ‘Bolehkan aku mencintaimu?’
Itu adalah status di akun twitter Arsa. Dan kamu
takut jika pertanyaan itu ditujukan padamu, tapi kamu juga tidak rela jika Arsa
memaksudkannya untuk orang lain. Lalu kamu tiba-tiba teringat pada Cantika.
Bagaimana jika sekarang Cantika juga menangis
sepertimu karena membaca status Arsa? Kamu tidak tega membayangkan wajah cantik
Cantika berlinang air mata. “Kamu jahat Arsa, kalau sampai membuat sahabatku
juga menangisimu.”
==
Kamu resmi patah hati. Arsa pacaran dengan Cantika.
Kamu mencoba berfikir positif, bahwa Tuhan telah menyiapkan seseorang terbaik
untukmu, dan orang itu bukanlah Arsa.
Perlahan kamu mulai berusaha menggeser rasa sukamu
pada Arsa sebagai rasa saying kepada sahabat. Hanya sahabat. Sama seperti
Cantika.
Dua bulan berselang, Cantika menangis dihadapanmu. “Aku
kesal, Yasmin. Dia piker ada sesuatu antara aku dengan Angga. Bukankah dia tahu
bahwa aku sudah menganggap Angga seperti adikku sendiri. Padahal aku juga tahu
bahwa dia masih diam-diam menyukai Nita.” Tuturnya menggebu disela-sela air
matanya.
“Sabar ya, Cantik.” Hiburmu mengelus punggung
tangan Cantika.
==
“Yasmin, aku menyukaimu. Maukah kamu menjadi
pacarku?” Dia bertanya tanpa sedikitmpun nada ragu terselip dalam kalimatnya.
Kamu merasa nafasmu berat, sesak menghimpin dadamu.
Kamu tidak berani menatap Arsa yang memandangimu lekat.
Kisah Arsa dan Cantika hanya mampu bertahan hingga
sepuluh bulan lalu. Dan kamu tahu dengan pasti karena kamu membebani dirimu
untuk menghibur Cantika.
“Kamu nggak perlu menjawab sekarang, tapi aku harap
kamu akan memberiku kabar baik.”
==
Semalaman kamu tidak bias memejamkan mata. Tubuhmu hanya
berbolak-balik di atas tempat tidur. Kerja otakmua begitu lambat, memutar semua
kejadian yang menimpamu akhir-akhir ini. Kamu masih tidak menyangka bahwa Arsa
akan menyatakan rasa sukanya kepadamu.
“Sudah lama Yas, aku suka sama kamu.” Kamu
menengadah karena mendngar hal ini, “Bahkan sebelum aku jadian dengan Cantika,
aku sudah menyukaimu.” Kamu semakin terhenyak, tidak tahu harus berkata apa.
“Tapi, kamu terasa terlalu sulit untuk digapai.”
==
Dengan kepala migrain, kamu memaksakan diri untuk
menemui Arsa. Kamu tidak mungkin tinggal diam dalam keadaan seperti ini. Karena
akan terasa tidak nyaman untukmu, juga untuk Arsa.
“Sebelumnya aku mengucapkan terima kasih untuk semua
perhatianmu selama ini. Aku benar-benar tersanjung karenanya. Tapi maaf, aku tidak
bias menerimamu lebih dari seorang sahabat. Aku tidak mau menyakiti Cantika.”
“Aku dan Cantika sudah lama putus. Tidak ada hubungan
apa-apa lagi diantara kami selain hubungan sebagai teman.” Potong Arsa tidak bias
menerima alasanmu.
“Tetap ada. Kamu mantannya Cantika. Dan hal itu tidak
mungkin berubah. Menurutmu bagaimana perasaan Cantika jika akhirnya kita berpacaran.
Sahabatnya dan mantan pacarnya. Bahkan sampai sekarang kalian masih sama-sama canggung.
Aku tidak mau menambah daftar kecanggungan kalian.” Kamu menjelaskan panjang lebar.
Arsa akan kembali memprotes, tapi kamu buru-buru menambahkan.
“Toh kalau memang kita berjodoh, Tuhan pasti akan tetap mempertemukan kita. Dan
penolakanku kali ini tidak akan banyak mempengaruhi.” Sekali lagi terima kasih dan
maaf.”
==
Air mata membanjiri wajahmu. Rasa sesal begitu kuat
mendesak dalam dada. Tapi kamu tahu inilah yang terbaik.
Peraturannya
mudah. Jangan berpacaran dengan mantan pacar sahabat.
medio sepertiga akhir Juni, 2011