Selasa, 07 Juni 2011

Cerita Dari Sebuah Masa


UN sudah berlalu sejak sebulan lalu. Fokus semua orang tak lagi pada sesuatu yang telah berlalu itu. Kini semuanya sibuk mempersiapkan acara ‘perpisahan’ yang akan berlangsung… hari ini.
Betapa sulitnya aku melangkah dengan sandal setinggi ini. Belum apa-apa kakiku sudah pegal-pegal. Belum lagi beberapa kali aku hampir jatuh karana langkahku tidak stabil. Dengan sandal atau sepatu setinggi satu sentimeter dari tanah saja kadang-kadang bisa membuatku terpeleset, bagaimana dengan yang ini?
Dalam hati aku merutuki pencetus ide acara perpisahan dengan kostum nasional begini. Karena itu berarti, aku yang berjenis kelamin perempuan sejak lahir sampai sekarang harus memakai kebaya. Bukannya aku tidak suka menunjukkan rasa nasionalismeku, tapi yang aku tidak sukai adalah bagian berhak tinggi yang sekarang sedang terpasang dikakiku.
“Sela..” teriak Lia keras melihatku memasuki aula. Dia sudah lebih dulu sampai rupanya. “Baru kali ini lihat lu dandan.” Komentarnya.
Ya Tuhan.. kupikir dia mau berkata apa. Ternyata hanya itu.

Dari semua susunan acara, yang paling kusukai adalah bagian terakhir. Apalagi kalau bukan foto-foto. Kami benar-benar super duper gila. Begitu melihat benda berbentuk kotak yang punya nama ka-me-ra, kami seperti kesetanan dan berlarian minta ikut difoto. Benar-benar melelahkan bagiku, dengan sandal berhak tinggi ini dan keinginan tak mau melewatkan acara berfoto bersama. Narsis abis!
“Sela.. sini!” teriak Lia, manarik tanganku kearah segerombolan anak kelas kami yang sedang berpose ala teletubies. Berpelukan..
Aku sudah tidak kuat lagi. Aku benar-benar butuh yang namanya kursi. Kakiku terasa hampir copot dari engkelnya. Jadi kuabaikan ajakan-ajakan ‘pengabadian’ momen dan berjalan tertatih menuju sebuah kursi yang entah bagaimana sampai di lantai atas yang seharusnya kosong ini.
“Kelihatannya lu capek banget Sel,” kata seseorang yang rasanya kukenali suaranya begitu aku duduk. Rupanya yang berkata itu adalah Dafin.
“Ehm, iya lumayan.” Kataku kaku. Aku tak tahu harus berkata apa padanya. Sudah lama kami tidak bicara. “Dari tadi lari-lari terus.”
Kanapa aku harus canggung begini berada didekatnya? Tapi harus kuakui, dia terlihat sangat cocok dengan jas hitamnya.
“Mau gue ambilin minum?” dia menawarkan, “Mau ya..” sebelum aku sempat menolak, dia sudah berlalu.
            Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku tidak suka berada dalam posisi seperti sekarang. Kenapa pula otakku tiba-tiba macet?
            Belum sempat aku mengambil keputusan, Dafin sudah kembali muncul didepanku membawa dua botol minuman dingin. “Nih.”
            Aku menerima pemberiannya dengan perasaan galau.
            “Udah lama ya, kita nggak ngobrol.”
            Iya sudah lama. Sangat lama. Mungkin sudah berabad lamanya kami tidak berada dalam jarak sedekat ini. Kini aku bisa mencium kembali wangi parfumnya. Masih sama seperti yang ada dalam ingatanku.
            “Jadi udah mutusin, mau masuk mana?” dia bertanya.
            “UNS mungkin.” Jawabku.
“Kenapa harus Solo, kenapa nggak disini aja?” tuntutnya.
“Bosen. Pengen suasana baru. Lu sendiri?” aku balik bertanya.
            “Belum kepikiran sih, palingan di Jogja.” Dia menjawab.
            Hah.. Jogja?!? Hanya berjarak kurang dari satu jam dari Solo… tapi, tadi protes padaku. Aku tak terima, “Lu juga, kenapa di Jogja?” sebelum dia sempat menjawab aku sudah menambahkan, “Harus kreatif, nggak boleh ngopi.” Ancamku dengan mimik yang membuatnya tersenyum.
            “Pengen aja.” Dia menjawab sekenanya.
“Nanti nggak pa-pa kan, kalo gue sering main?” tanyanya. Rupanya dia bisa membaca pikiranku tadi.
            Aku hanya tersenyum menanggapi pertanyaannya.
            “Eh, gue ada kamera nih,” dia mengeluarkan si kotak ajaib dari dalam saku jasnya, “foto yuk.” Ajaknya.
            Tanpa menunggu persetujuanku (lagi-lagi), dia memanggil Fino yang kebetulan melintas di dekat kami. “Fin, tolong dong..” pintanya mengulurkan kamera digitalnya pada Fino.
            Dengan senang hati Fino menerimanya dan menekan tombol on.
            “Lu duduk aja, nggak pa-pa.” cegahnya saat aku hampir berdiri.
            Maka dia berdiri di belakangku dengan kedua tangannya diatas bahuku.
            “Lagi dong..” bujuknya pada Fino yang mau menyerahkan kameranya.
            “Nggak mau sia-siain kesempatan ya?” ejek Fino disertai cengiran. Mukaku memanas mendengarnya. Sementara Dafin hanya membalas cengiran Fino.
            Setelah beberapa pose (yang kesemuanya aku tetap duduk), Dafin mau menerima kembali kameranya.
            “Nanti deh, gue kirim ke lu soft copynya.” Ujarnya.
            Beberapa saat kami masih saling bercerita tentang cita-cita. Katanya waktu kecil dulu dia ingin menjadi seorang pengacara. Tapi melihat banyaknya skandal yang menimpa para pengacara, hakim, dan jaksa, dia memutuskan ingin menjadi politisi saja. Maka dia berkeinginan untuk meneruskan pendidikannya di FISIP PT manapun nantinya. Dan karena dia sangat mencintai gitar, dia juga ingin memperdalam kursus musiknya.
            “Lu tahu nggak, lu kelihatan manis banget hari ini.” katanya beberapa saat sebelum kemudian dia berlari meninggalkanku di pintu masuk aula.

            Aku dan Dafin dulu sempat dekat. Bukan dekat dalam artian khusus, tapi dekat dalam artian dekat. Hanya dekat. Dulu kami sekelas di kelas 10. Dia adalah seorang yang bersedia meladeniku berdebat soal segala film yang baru aku tonton, seorang yang rela mendengarku mengoceh tentang grup detektif, seseorang yang mau kuajak mencari nilai pesan moral (yang semuanya tentang cinta-cintaan) dari teenlit yang kubaca, seseorang yang rela menghabiskan pulsanya saat jiwa puitisku tiba-tiba bergejolak, dan seseorang yang… aku tak tahu lagi bagaimana menjelaskannya.
            Tapi semua itu tidak bertahan lama. Sejak kenaikan kelas, dan kami berbeda kelas dengan sendirinya jarak diantara kami semakin menjauh. Tadinya masih ada SMS-SMS yang saling mengisi kotak masuk dan telepon-telepon yang tertera di daftar panggilan. Tapi lama-lama frekuensinya terus berkurang dan kemudian hilang total. Bila tadinya masih sempat ngobrol saat tidak sengaja bertemu di kantin atau di koridor, kemudian sebatas saling sapa, dan akhirnya hanya anggukan kepala.

Ada seribu lebih e-mail di kotak masuk saat aku iseng membuka e-mailku (sebagian besar berasal dari Facebook :D). Tapi ada satu yang langsung membuat dadaku berdebar-debar saat aku membaca siapa pengirimnya. Dari Dafin. Cepat-cepat kuarahkan kursor pada e-mail yang kumaksud.
From                : dafindafindafin@yahoo.com
Subject             : ma promise
            Hai Sel, sebelum gue lupa sama janji gue mending gue kirimin ke lu sekarang aja ya… en, eniwe… u’r beautiful.

                                                                                                            U’r dafin
            Beautiful? U’r Dafin? Apa maksudnya itu?
            Aku tidak mau berlama-lama dengan tulisan aneh Dafin itu sekarang. Sepat-cepat aku membuka lampirannya. Foto kami tadi siang.
            Aku tak mau dianggap tak tahu terima kasih, maka kubalas e-mailnya itu.
To                   : dafindafindafin@yahoo.com
Subject             : re-ma promise [thanks full]
            Udah gue terima, thanks a lot yah, buat foto en pujiannya.

                                                                                                            SeLaila
            Aku tak mau ikut-ikutan menuliskan U’r didepan namaku. Hoho, belum sampai tiga menit aku sudah menerima balasan dari Dafin. Rupanya dia masih on line. Betah juga dia memandangi layar. Dari waktu yang tertera di e-mailnya yang pertama kuterima, dia sudah mengadu jari dengan keyboard tak kurang dari dua jam. Eh, tapi dugaanku bisa saja salah. Mungkin saja dia tadi sempat meninggalkan PCnya dan sekarang baru kembali.
From                : dafindafindafin@yahoo.com
Subject             : super duper wow!
            Lu masih ol ya? YM-an aja yuk… gue tunggu,
            YM? Masih musim ya? Tapi tak urung juga aku menuruti permintaannya.
            Hanya ada alamat e-mailnya pada daftarku. Sekarang sebagian besar orang yang tertera pada layarku sedang asyik ber-Facebook ria.
dafindafindafin : hai lagi…J
selaila               : hai (lagi) juga…J
dafindafindafin: gue nggak ganggu kan?
selaila               : ya g lah, knp juga ganggu??
dafindafindafin: mungkin aja lu lg beljar…:D
selailai              : ngejek nih…
dafindafindafin: nggak, tp biasanya kn lu slalu blajar… jngan mrah dunk…
selaila               : gw g mrh kuk! Hehe,
dafindafindafin: hffff…
selaila               : knp?
dafindafindafin: nothing.
selaila               : ??
dafindafindafin: sel,
selaila               : yupz
dafindafindafin: cm manggil :p!
selaila               : …
selaila               : fin,
dafindafindafin: y, knp sel?
selaila               : gw cm manggil :p! gantian dunk.. :p
dafindafindafin: eh, sel… a big sorry en thanks full y,
selaila               : 4?
dafindafindafin: smuanya
selaila               : ?
selaila               : mksudnya apaan fin, gw g paham..
dafindafindafin: y, maapin smua salah gw n makasih buad semuanya.
selaila               : terus?
selaila               : ky orang mw pamitan aja… lu mw pergi emang?
            Kenapa aku harus menanyakannya?
dafindafindafin: sel,
selaila               : iyap,
dafindafindafin: gw lnjut k luar.
selalila              : lanjut apaan? Luar? Mksudnya?
            Perasaanku mulai tak enak. Kurasa ada baiknya aku tak mengetahui kelanjutan cerita Dafin. Tapi mau bagaimana lagi, aku sudah terlanjur mengetik pertanyaanku itu. Normalnya, orang akan memberikan jawaban setelah ditanya.
dafindafindafin: gw lnjut kul di kanada, bokap ngmbl s3 dsna. Qt smua ngikut,
            Jadi itu maksudnya. Aku tak bisa meminta jantungku untuk berdetak sesuai irama yang biasanya saja. Aku tak tahu harus mengetik apa sebagai balasan.
selaila               : sayonara,
            Aku benar-benar tak bisa berpikir jernih.