Sabtu, 11 Juni 2011

The Way (Next Chap from Cerita Dari Sebuah Masa)




Cerita Dari Sisi Ardi


Secara sekilas, dia bukanlah gadis yang bisa membuat pikiran teragum-kagum pada pandangan pertama. Kesan awal yang tertangkap adalah cerdas, namun keras kepala. Selain itu, secara keseluruhan sebenarnya dia termasuk orang yang berpikiran luas dan memiliki senyuman yang bersahabat. Meski begitu, yang baru akan terungkap setelah mengenalnya dengan sangat baik, dia adalah seorang yang manja dan pemaksa.
“Ya, ya, ya...” dia memamerkan senyum terbaiknya. “Nitip beli batagor di depan, nih uangnya.” Tangannya mengulurkan tiga lembar uang bergambar Kapitan Pattimura yang sedang memamerkan parangnya. “Nggak make saus sama acar.”
Dengan menghela nafas, Ardi menerima uang yang diulurkan Sella-yang ngotot meminta dipanggil Laila, namun tak ada yang menurutinya-─dan menerima konsekuensi dari keputusannya. Pesanan-pesanan lain turut mengalir setelah dia mengiyakan permintaan gadis itu, tapi mana mungkin dia bisa menolak Sella.
“Makasih sebelumnya.”
Ucapan itulah yang Ardi nantikan, diiringi senyuman lebar yang selalu bisa membuat perasaannya menjadi lebih baik.
Ardi membalas dengan mengacungkan ibu jari kanannya. “Sip.” Katanya disertai senyum ringan.

***


“Yah, malah buka facebook, twitter juga...”
Sella meringis memamerkan senyum kuda pada Ardi, tangannya bergera menggaruk kepala.
“Nggak sekalian sebutin semua tab sama window yang aku buka?”
Ardi terkekeh dan bergumam “Dasar!” disela-sela tawanya.
“Jadi, udah sampe mana?” Ardi mengubah topik pembicaraan.
Seperempat jam berikutnya, sambil menunggu yang lain datang, mereka berdua terlibat dalam sebuah diskusi yang serius. Ardi sempat melupakan bahwa lawan bicaranya adalah seorang yang berpendirian keras dan tak mudah menerima usulan dari orang lain.
“Ehem, seriusnya yang lagi berduaan..”
Diskusi terhenti dan keduanya menengok ke arah tangga. Lulu baru saja datang dan langsung bergabung dengan mereka.
“Lu, bilangin si Ardi deh...” Sella mulai mengumpulkan dukungan. Ardi menarik nafas panjang, menyiapkan diri untuk diskusi yang lebih panjang.

“Dafin itu siapa, Sel?” tanya Lulu tiba-tiba setalah diskusi mereka berakhir.
Beberapa pasang mata langsung memandang kearah mereka. Mengurungkan niat untuk berlalu dan memasang telinga untuk mendengar jawaban dari Sella.
Mata Ardi menyipit. Dafin? Rasanya dia pernah mendengar nama itu. Atau membaca.
“Temen SMA.” Jawab Sella kalem.
Ardi menangkap suara Sella sedikit bergetar. Benar-benar sedikit hingga Lulu tak menyadari bahwa bulu mata Sella yang lentik bergerak mengikuti gerakan membuka-menutup kelopak matanya yang mengerjap cepat.
“Oh, oh, siapa tuh Dafin?”
“Ehem, ehem..”
Yang lain tak tahan untuk menggoda Sella.
Tak bisa mengingat dimana dia menemukan nama itu, Ardi mencoba untuk cuek, walau jujur diakui bahwa dia tidak menyukai nama itu disebut-sebut.
“Ah, yang bener?” Lulu meragukan jawaban Sella.
“Ih, apaan sih Lulu.. ya emang benar dia temen SMA-ku.”
“Tapi dia sering lho, komentar di statusmu. Kalian juga sering bales-balesan twitter..”
“Terus?” potong Sella.
“dia juga sering ngirim pesan-pesan gitu ke wallmu.” Lulu masih melanjutkan.
“Jadi Dafin toh, Sel?”
“Suit, suit..”
“Cie, cie..”
Ardi benar-benar tidak menyukai mereka mendiskusikan hal yang satu ini.
“Lho, Ar.. kamu kenapa? Oh, oh.. kamu cemburu, ya?”

***
Ardi tak tega melihat Sella yang telah bersiap dengan dress putihnya, dressscode yang harus dia kenakan hari ini. Sella sendiri yang mengusulkan hal itu. Sebagai seksi acara, dia memiliki hak perogratif untuk mengurus segala hal yang berkaitan dengan berlangsungnya acara sore ini.
Siang tadi Sella menerima ‘kejutan’ dari semua panitia yang seluruhnya adalah teman seangkatan. Karena ini adalah acara welcome party untuk adik-adik tingkat di program studi mereka yang masih berstatus sebagai mahasiswa baru.
“ Aku lahirnya jam setengah lima sore… ini kecepetan..”
Tak ada yang menghiraukan protes Sella.

“Sella, serius langsung pakai dress, habis ini kan kita masih harus angkat-angkat barang.” Ardi mencoba ‘mengingatkan’, namun tetap berusaha menyembunyikan skenario yang telah disusun rapi. Sungguh, Sella lupa bahwa hari ini adalah hari ulang tahunnya. Dan dengan baik hati teman-temannya telah mengingatkan dengan guyuran air mineral selepas rapat koordinasi tadi.
“Iya Di.. aku males kalau nanti harus balik kos lagi buat ganti baju. Lagian nanggung, ini juga udah jam dua. Acaranya kan jam empat.” Sella benar-benar merasa bahwa ‘kejutan’ untuknya telah usai.
Ardi hanya bisa pasrah membiarkan gadis keras kepala itu memboncengnya kembali ke kampus untuk menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan acara nanti.
“Ah~!!!!” jerit Sella saat butiran-butiran berwarna putih berjatuhan dari kepalanya. Disusul sesuatu yang terasa dingin di kulit kepalanya dengan bau amis. Tepung terigu dan telur.
Ardi melayangkan pandang meminta maaf dari atas motornya. Dia sengaja tidak turun dan memarkir motornya. Begitulah skenarionya. Sella diingatkan perihal hari ulang tahunnya dengan guyuran air, membiarkan dia mengira bahwa hal itu telah selesai lalu menyuruh Ardi mengantarnya untuk berganti pakaian. Kemudian setelah dia ganti baju dan kembali melupakan hari lahirnya, pengingat kedua berupa tepung terigu dan telur telah mereka siapkan. Lagi, Ardi diutus untuk mengantarkan sang tuan putri berganti kostum.
“Kenapa nggak ngasih tau.” Cecar Sella membuat Ardi merasa bersalah.

“Di, aku tahu aku navigator yang payah, tapi aku yakin seyakin-yakinnya ini bukan jalan ke kampus.” Ujar Sella saat Ardi membawanya ke pusat pertokoan yang ada di sebelah selatan kampus mereka. “Ngapain kita kesini?”
Ardi menjawab pertanyaan Sella dengan menatap gadis itu dari atas ke bawah setelah dia menghentikan motornya di sebuah toko baju dan Sella telah turun dari boncengannya.
“Salah siapa aku diguyur pakai tepung sama telur?” pertanyaan retoris Sella menjawab tatapan Ardi. Dia mengerti tujuan Ardi membawanya kesini, untuk mengganti pakaiannya yang jauh dari putih seperti yang dia putuskan kemarin dulu. Sekarang dia mengenakan dress biru muda, warna yang paling mendekati putih yang bisa dia temukan di lemari kakak kosnya.
“Aku cuman punya satu dress, dan itu udah kalian kotori dengan tepung sama telur. Ini juga baju pinjeman..” akunya dengan nada kalah.
“Makanya aku bawa kamu kesini.” Balas Ardi dengan nada penuh kemenangan. Sebelum bisa dihentikan, dia sudah masuk kedalamm toko. Sella mengalah dan mengikuti langkah lebar Ardi masuk kedalam toko.
“Di, nggak usah neko-neko. Aku lagi nggak punya uang beuat beli baju baru.” Bisik Sella tajam. Tapi Ardi tak peduli dan malah mulai melihat-lihat koleksi dress putih yang digantung. “Eh, aku bingung. Kayaknya mending kamu milih sendiri deh,” katanya sambil menggaruk kepala karena benar-benar buta model pakaian wanita.
Sella memberi kode dengan gelengan kepala, maksudnya agar Ardi menghentikan tingkahnya ini. Tapi ternyata, dia salah tangkap dan mengartikan bahwa tidak ada satu pun yang Sella suka di toko ini.
“Nggak ada, ya? Atau mau nyari di Matahari aja?” jujur, Ardi memang tidak tahu dimana tempat khusus yang menyediakan pakaian untuk wanita. Bukan kebiasaannya mengantar seorang wanita pergi berbelanja, pun dengan ibunya sendiri.
“Ardi, nggak usah beli baju segala. Mendingan sekarang kita ke kampus aja. Ini udah hampir jam empat, bisa-bisa nanti kita telat.” Desis Sella, berusaha agar ucapannya tidak didengar penjaga toko.
“Dengan baju itu?” Ardi sangsi, “itu bukan putih lho..”
Mata Sella melotot menatap Ardi. “Ardian Putra Perdana, aku minta sekarang kita balik ke kampus.”
Ardi menghela nafas, mengumpulkan kekuatan untuk merubah keputusan Sella. Dia merasa bersalah karena tidak memberikan peringatan pada gadis itu perihal tepung dan telur. “Alsellani Laila, aku minta kamu mau nerima permintaanku. Sebagai tanda permintaan maaf.” Wajah Ardi benar-benar serius.
Ardi tak bisa dan tak mau ditolak. Sella pasrah, seperti ketika tadi dirinya mendapat berkali-kali siraman pengingat ulang tahunnya.

“Pokoknya nanti kamu harus ngingetin aku buat ganti uangmu.” Ancaman Sella tak begitu dihiraukan Ardi.
Ardi melihat jam tangannya. Sudah lebih dari waktu kesepakatan yang diizinkan oleh ketua panitia. Sekarang jarum jam hampir mendekati pukul setengah lima sore.
“Sella,” panggil Ardi agar dia mendekat.
Sella menjawab dengan menaikkan kedua alisnya, “Ya, ada apa?” tanyannya.
Ardi mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna cokelat berhiaskan ikatan pita kuning keemasan dari dalam tasnya. “Ini, buat kamu.” Tangannya mengulurkan kotak itu pada Sella.
Pertanyaan “Apa?” semakin terpeta jelas di wajah Sella. “Apa ini?” pertanyaannya terucap.
“Buka aja.” Jawab Ardi enteng.
“Ya ampun, Ardi…” bisiknya dengan nada panik, “ini apa? Aku nggak bisa nerima.” Kata Sella dengan menggelengkan kepalanya.
“Tolong Sel, kumohon..”
“Tapi..”
Ardi menyetel wajah innocentnya. Biasanya jurus itu berhasil pada orang seperti Sella yang memiliki kesulitan untuk menolak sesuatu. Berharap agar Sella tak mempermasalahkan hadiah darinya. Gelang dari batu Kristal warna-warni itu langsung mengingatkan Ardi pada Sella saat pertama kali melihatnya. Makanya dia putuskan untuk membelinya dan menghadiahkannya pada gadis itu di hari ulang tahunnya.
“Selamat.”
Perkataan Ardi terpotong telepon masuk di hp Sella. Sella menerima panggilan itu dengan dahi mengernyit.
“Assalamu’alaikum..” Sella menyapa peneleponnya ragu. “Oh, Dafin..” suaranya berubah takjub.
Ardi tak menyukai mendengar nama itu terucap dari bibir Sella. Dicobanya untuk tidak mendengarkan percakapan yang terjadi diantara mereka. Meski segala ucapan Sella masih bisa ditangkap oleh telinganya.
“Baik, kamu gimana? Ada apa? Kamu ingat?” dalam bagian ini Sella menutup mulutnya dengan sebelah telapak tangan, “Thank you very much,” senyumannya turut tersungging, “salam untuk orangtuamu di sana.”
Sambungan telepon terputus. Sella memasukkan hpnya ke dalam tas.
“Kamu tadi mau ngomong apa, Ar?” Tanya Sella. Sangat jelas terlihat suasana hatinya sudah jauh berubah.
Ardi kembali memasang senyum terbaiknya, meski ini menjadi lebih sulit. “Selamat ulang tahun, Alsellani Laila.”
“Oh, terima kasih.” Balas Sella kemudian melakukan hal yang membuat Ardi kaget. Dia memakai gelang pemberian Ardi tanpa protes dan kembali mengucapkan terima kasih. Apa yang membuatnya berubah pikiran dalam waktu secepat ini? Ardi bertanya-tanya dalam hati.
“Tau nggak Ar, si Dafin itu gila banget deh. Masak dia sengaja begadang biar bisa nelpon aku pas jam setengah lima sore WIB, sekitar jam setengah lima pagi di Kanada, katanya sih mau ngucapin selamat ulang tahun tepat waktu.” Meski nadanya memprotes, tapi mata Ardi tidak tertipu. Dari pantulan kaca spion, Ardi bisa melihat jelas bahwa Sella tidak keberatan dengan apa yang barusan Dafin lakukan.

***