Cerita Dari Sisi Ardi
Secara sekilas, dia bukanlah gadis yang bisa
membuat pikiran teragum-kagum pada pandangan pertama. Kesan awal yang
tertangkap adalah cerdas, namun keras kepala. Selain itu, secara keseluruhan
sebenarnya dia termasuk orang yang berpikiran luas dan memiliki senyuman yang
bersahabat. Meski begitu, yang baru akan terungkap setelah mengenalnya dengan
sangat baik, dia adalah seorang yang manja dan pemaksa.
“Ya, ya, ya...” dia memamerkan senyum
terbaiknya. “Nitip beli batagor di depan, nih uangnya.” Tangannya mengulurkan
tiga lembar uang bergambar Kapitan Pattimura yang sedang memamerkan parangnya.
“Nggak make saus sama acar.”
Dengan menghela nafas, Ardi menerima uang yang
diulurkan Sella-─yang ngotot meminta dipanggil Laila, namun tak ada
yang menurutinya-─dan menerima konsekuensi dari
keputusannya. Pesanan-pesanan lain turut mengalir setelah dia mengiyakan
permintaan gadis itu, tapi mana mungkin dia bisa menolak Sella.
“Makasih sebelumnya.”
Ucapan itulah yang Ardi nantikan, diiringi senyuman lebar yang
selalu bisa membuat perasaannya menjadi lebih baik.
Ardi membalas dengan mengacungkan ibu jari kanannya. “Sip.”
Katanya disertai senyum ringan.
“Yah, malah buka facebook, twitter juga...”
Sella meringis memamerkan senyum kuda pada Ardi,
tangannya bergera menggaruk kepala.
“Nggak sekalian sebutin semua tab sama window
yang aku buka?”
Ardi terkekeh dan bergumam “Dasar!”
disela-sela tawanya.
“Jadi, udah sampe mana?” Ardi mengubah topik
pembicaraan.
Seperempat jam berikutnya, sambil menunggu
yang lain datang, mereka berdua terlibat dalam sebuah diskusi yang serius. Ardi
sempat melupakan bahwa lawan bicaranya adalah seorang yang berpendirian keras
dan tak mudah menerima usulan dari orang lain.
“Ehem, seriusnya yang lagi berduaan..”
Diskusi terhenti dan keduanya menengok ke arah
tangga. Lulu baru saja datang dan langsung bergabung dengan mereka.
“Lu, bilangin si Ardi deh...” Sella mulai
mengumpulkan dukungan. Ardi menarik nafas panjang, menyiapkan diri untuk
diskusi yang lebih panjang.
“Dafin itu siapa, Sel?” tanya Lulu tiba-tiba
setalah diskusi mereka berakhir.
Beberapa pasang mata langsung memandang kearah
mereka. Mengurungkan niat untuk berlalu dan memasang telinga untuk mendengar
jawaban dari Sella.
Mata Ardi menyipit. Dafin? Rasanya dia pernah
mendengar nama itu. Atau membaca.
“Temen SMA.” Jawab Sella kalem.
Ardi menangkap suara Sella sedikit bergetar.
Benar-benar sedikit hingga Lulu tak menyadari bahwa bulu mata Sella yang lentik
bergerak mengikuti gerakan membuka-menutup kelopak matanya yang mengerjap
cepat.
“Oh, oh, siapa tuh Dafin?”
“Ehem, ehem..”
Yang lain tak tahan untuk menggoda Sella.
Tak bisa mengingat dimana dia menemukan nama
itu, Ardi mencoba untuk cuek, walau jujur diakui bahwa dia tidak menyukai nama
itu disebut-sebut.
“Ah, yang bener?” Lulu meragukan jawaban
Sella.
“Ih, apaan sih Lulu.. ya emang benar dia temen
SMA-ku.”
“Tapi dia sering lho, komentar di statusmu.
Kalian juga sering bales-balesan twitter..”
“Terus?” potong Sella.
“dia juga sering ngirim pesan-pesan gitu ke wallmu.”
Lulu masih melanjutkan.
“Jadi Dafin toh, Sel?”
“Suit, suit..”
“Cie, cie..”
Ardi benar-benar tidak menyukai mereka
mendiskusikan hal yang satu ini.
“Lho, Ar.. kamu kenapa? Oh, oh.. kamu cemburu,
ya?”
***
Ardi tak tega melihat Sella
yang telah bersiap dengan dress putihnya, dressscode
yang harus dia kenakan hari ini. Sella sendiri yang mengusulkan hal itu.
Sebagai seksi acara, dia memiliki hak perogratif untuk mengurus segala hal yang
berkaitan dengan berlangsungnya acara sore ini.
Siang tadi Sella menerima
‘kejutan’ dari semua panitia yang seluruhnya adalah teman seangkatan. Karena
ini adalah acara welcome party untuk
adik-adik tingkat di program studi mereka yang masih berstatus sebagai
mahasiswa baru.
“ Aku lahirnya jam setengah
lima sore… ini kecepetan..”
Tak ada yang menghiraukan protes
Sella.
“Sella, serius langsung pakai
dress, habis ini kan kita masih harus angkat-angkat barang.” Ardi mencoba ‘mengingatkan’,
namun tetap berusaha menyembunyikan skenario yang telah disusun rapi. Sungguh,
Sella lupa bahwa hari ini adalah hari ulang tahunnya. Dan dengan baik hati
teman-temannya telah mengingatkan dengan guyuran air mineral selepas rapat
koordinasi tadi.
“Iya Di.. aku males kalau
nanti harus balik kos lagi buat ganti baju. Lagian nanggung, ini juga udah jam
dua. Acaranya kan jam empat.” Sella benar-benar merasa bahwa ‘kejutan’ untuknya
telah usai.
Ardi hanya bisa pasrah
membiarkan gadis keras kepala itu memboncengnya kembali ke kampus untuk
menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan acara nanti.
“Ah~!!!!” jerit Sella saat
butiran-butiran berwarna putih berjatuhan dari kepalanya. Disusul sesuatu yang
terasa dingin di kulit kepalanya dengan bau amis. Tepung terigu dan telur.
Ardi melayangkan pandang
meminta maaf dari atas motornya. Dia sengaja tidak turun dan memarkir motornya.
Begitulah skenarionya. Sella diingatkan perihal hari ulang tahunnya dengan
guyuran air, membiarkan dia mengira bahwa hal itu telah selesai lalu menyuruh
Ardi mengantarnya untuk berganti pakaian. Kemudian setelah dia ganti baju dan
kembali melupakan hari lahirnya, pengingat kedua berupa tepung terigu dan telur
telah mereka siapkan. Lagi, Ardi diutus untuk mengantarkan sang tuan putri
berganti kostum.
“Kenapa nggak ngasih tau.”
Cecar Sella membuat Ardi merasa bersalah.
“Di, aku tahu aku navigator
yang payah, tapi aku yakin seyakin-yakinnya ini bukan jalan ke kampus.” Ujar
Sella saat Ardi membawanya ke pusat pertokoan yang ada di sebelah selatan
kampus mereka. “Ngapain kita kesini?”
Ardi menjawab pertanyaan Sella
dengan menatap gadis itu dari atas ke bawah setelah dia menghentikan motornya
di sebuah toko baju dan Sella telah turun dari boncengannya.
“Salah siapa aku diguyur pakai
tepung sama telur?” pertanyaan retoris Sella menjawab tatapan Ardi. Dia
mengerti tujuan Ardi membawanya kesini, untuk mengganti pakaiannya yang jauh
dari putih seperti yang dia putuskan kemarin dulu. Sekarang dia mengenakan
dress biru muda, warna yang paling mendekati putih yang bisa dia temukan di
lemari kakak kosnya.
“Aku cuman punya satu dress, dan itu udah kalian kotori dengan
tepung sama telur. Ini juga baju pinjeman..” akunya dengan nada kalah.
“Makanya aku bawa kamu
kesini.” Balas Ardi dengan nada penuh kemenangan. Sebelum bisa dihentikan, dia
sudah masuk kedalamm toko. Sella mengalah dan mengikuti langkah lebar Ardi masuk
kedalam toko.
“Di, nggak usah neko-neko. Aku
lagi nggak punya uang beuat beli baju baru.” Bisik Sella tajam. Tapi Ardi tak
peduli dan malah mulai melihat-lihat koleksi dress putih yang digantung. “Eh,
aku bingung. Kayaknya mending kamu milih sendiri deh,” katanya sambil menggaruk
kepala karena benar-benar buta model pakaian wanita.
Sella memberi kode dengan
gelengan kepala, maksudnya agar Ardi menghentikan tingkahnya ini. Tapi
ternyata, dia salah tangkap dan mengartikan bahwa tidak ada satu pun yang Sella
suka di toko ini.
“Nggak ada, ya? Atau mau nyari
di Matahari aja?” jujur, Ardi memang tidak tahu dimana tempat khusus yang
menyediakan pakaian untuk wanita. Bukan kebiasaannya mengantar seorang wanita
pergi berbelanja, pun dengan ibunya sendiri.
“Ardi, nggak usah beli baju
segala. Mendingan sekarang kita ke kampus aja. Ini udah hampir jam empat,
bisa-bisa nanti kita telat.” Desis Sella, berusaha agar ucapannya tidak
didengar penjaga toko.
“Dengan baju itu?” Ardi
sangsi, “itu bukan putih lho..”
Mata Sella melotot menatap
Ardi. “Ardian Putra Perdana, aku minta sekarang kita balik ke kampus.”
Ardi menghela nafas,
mengumpulkan kekuatan untuk merubah keputusan Sella. Dia merasa bersalah karena
tidak memberikan peringatan pada gadis itu perihal tepung dan telur. “Alsellani
Laila, aku minta kamu mau nerima permintaanku. Sebagai tanda permintaan maaf.”
Wajah Ardi benar-benar serius.
Ardi tak bisa dan tak mau
ditolak. Sella pasrah, seperti ketika tadi dirinya mendapat berkali-kali
siraman pengingat ulang tahunnya.
“Pokoknya nanti kamu harus
ngingetin aku buat ganti uangmu.” Ancaman Sella tak begitu dihiraukan Ardi.
Ardi melihat jam tangannya.
Sudah lebih dari waktu kesepakatan yang diizinkan oleh ketua panitia. Sekarang
jarum jam hampir mendekati pukul setengah lima sore.
“Sella,” panggil Ardi agar dia
mendekat.
Sella menjawab dengan
menaikkan kedua alisnya, “Ya, ada apa?” tanyannya.
Ardi mengeluarkan sebuah kotak
kecil berwarna cokelat berhiaskan ikatan pita kuning keemasan dari dalam tasnya.
“Ini, buat kamu.” Tangannya mengulurkan kotak itu pada Sella.
Pertanyaan “Apa?” semakin
terpeta jelas di wajah Sella. “Apa ini?” pertanyaannya terucap.
“Buka aja.” Jawab Ardi enteng.
“Ya ampun, Ardi…” bisiknya
dengan nada panik, “ini apa? Aku nggak bisa nerima.” Kata Sella dengan
menggelengkan kepalanya.
“Tolong Sel, kumohon..”
“Tapi..”
Ardi menyetel wajah innocentnya. Biasanya jurus itu berhasil
pada orang seperti Sella yang memiliki kesulitan untuk menolak sesuatu.
Berharap agar Sella tak mempermasalahkan hadiah darinya. Gelang dari batu
Kristal warna-warni itu langsung mengingatkan Ardi pada Sella saat pertama kali
melihatnya. Makanya dia putuskan untuk membelinya dan menghadiahkannya pada
gadis itu di hari ulang tahunnya.
“Selamat.”
Perkataan Ardi terpotong
telepon masuk di hp Sella. Sella menerima panggilan itu dengan dahi mengernyit.
“Assalamu’alaikum..” Sella
menyapa peneleponnya ragu. “Oh, Dafin..” suaranya berubah takjub.
Ardi tak menyukai mendengar
nama itu terucap dari bibir Sella. Dicobanya untuk tidak mendengarkan
percakapan yang terjadi diantara mereka. Meski segala ucapan Sella masih bisa
ditangkap oleh telinganya.
“Baik, kamu gimana? Ada apa?
Kamu ingat?” dalam bagian ini Sella menutup mulutnya dengan sebelah telapak
tangan, “Thank you very much,” senyumannya
turut tersungging, “salam untuk orangtuamu di sana.”
Sambungan telepon terputus.
Sella memasukkan hpnya ke dalam tas.
“Kamu tadi mau ngomong apa,
Ar?” Tanya Sella. Sangat jelas terlihat suasana hatinya sudah jauh berubah.
Ardi kembali memasang senyum
terbaiknya, meski ini menjadi lebih sulit. “Selamat ulang tahun, Alsellani
Laila.”
“Oh, terima kasih.” Balas
Sella kemudian melakukan hal yang membuat Ardi kaget. Dia memakai gelang
pemberian Ardi tanpa protes dan kembali mengucapkan terima kasih. Apa yang
membuatnya berubah pikiran dalam waktu secepat ini? Ardi bertanya-tanya dalam
hati.
“Tau nggak Ar, si Dafin itu
gila banget deh. Masak dia sengaja begadang biar bisa nelpon aku pas jam
setengah lima sore WIB, sekitar jam setengah lima pagi di Kanada, katanya sih
mau ngucapin selamat ulang tahun tepat waktu.” Meski nadanya memprotes, tapi
mata Ardi tidak tertipu. Dari pantulan kaca spion, Ardi bisa melihat jelas
bahwa Sella tidak keberatan dengan apa yang barusan Dafin lakukan.
***