Rabu, 08 Agustus 2012

RIN'S QUEST: SCENE #4 DIA YANG NAMANYA TAK BOLEH DISEBUT


Jadi, kenapa dia lakukan ini?
Apa yang dia inginkan dariku?
Aku lelah dan terlalu lelah
Aku tidak mau berada dalam posisi seperti ini. Posisi serba salah dan akan selalu dipersalahkan.
Tolong, bebaskan aku. Lepaskan aku dari jerat semu yang membelenggu
Hentikan dia dan sikapnya yang terus mengikatku
Jika dia bersikap seperti ini, aku dan diriku akan tetap terkurung dalam angan yang membuai
On June, 30th
=.=.=


Hampir dua minggu aku tidak menegurmu ataupun menyapamu. Aku tidak akan berkata apa-apa kepadamu jika bukan kamu yang memulai. Dan kamu cukup pintar untuk tidak memulai percakapan apapun diantara kita. Sepertinya kamu sadar sepenuhnya bahwa aku sengaja menghindarimu. Silahkan katakan aku ini menyedihkan. Memang.
Tapi rupanya Sang Kuasa enggan membiarkan kita berlama-lama saling berdiam. Karena kemudian takdir-Nya mempertemukan kita dalam satu situasi yang membuat kita harus berada dalam ruangan yang sama, saling berinteraksi.
Aku merutuki diriku yang dulu dengan naifnya mengiyakan permintaan – lebih tepatnya permohonan – mu untuk ikut berpartisipasi dalam organisasi mahasiswa ini. Dulu pikirku karena ada dirimu, seseorang yang aku kenal dan mengenalku, maka semuanya akan jadi lebih mudah dan menyenangkan. Tapi dengan keadaan kita sekarang, itu sulit.
Kamu menawarkan diri sebagai tuan rumah dalam rapat evaluasi merangkap rapat akhir sekaligus persiapan pelepasan jabatan kepengurusan periode yang kita pegang. Ingin sekali aku mangkir, tapi apa kata semua orang jika aku sengaja alpa dari kewajibanku. Apalagi jika mereka tahu apa alasanku yang sesungguhnya. Sepertinya rasa jaim yang menggunung adalah sebuah boomerang yang menyengsarakan.
“Jangan lupa, Ran, nanti jam empat sore di rumah Trisna.” Kata Yudhi mengingatkan.
“Iya, iya.. mana mungkin sih aku lupa.” Jawabku. Benar mana mungkin aku lupa, karena saking inginnya aku melupakannya justru semakin dalam terukir dalam memori otakku yang kadang menderita amnesia akut.
“Sip deh kalau begitu.” Dan Yudhi pun berlalu.
Sial.
=.=.=
Ini kedua kalinya aku berkunjung ke rumahmu. Rumah yang asri. Banyak pot-pot kecil – berjejer di beranda dan bergantungan – berisi bunga anggrek beraneka warna. Bunga yang yang namanya kamu sadur untuk memanggilku.
“Saya Ran, Tante.” Ini kedua kalinya aku memperkenalkan diri pada ibumu. Bukan sebuah kejutan, karena kedua orang tuaku juga selalu bertanya “Siapa namanya, Dik?” pada teman-temanku yang dating ke rumah hingga minimal mereka absen 10 kali. Rupanya orang tua kita memiliki gejala sindrom lupa-nama-teman-anak-yang-jarang-berkunjung yang sama.
“Oh, Ran adalah sebutan lain untuk anggrek. Karena ini Indonesia, harusnya kamu dipanggil ‘Anggrek’ saja.” Komentar ini sudah sering aku dengar darimu. Dan aku hanya bisa tersenyum menanggapi gurauan kalian yang sama. Buah memang terjatuh tidak jauh dari pohonnya.
Aku menyendiri di sudut ruang tamu rumahmu, enggan bergabung dalam kelompok besar yang bergerombol di tengah ruangan. Menyebalkan. Aku tidak suka menyendiri, tetapi kamu menjadi pusat aktivitas disitu, terpaksa aku menyepi.
“Aku butuh konsentrasi. Kalian bercanda terus disitu.” Alasanku.

Belum genap satu jam aku tiba di rumahmu, kekasihmu yang cantik itu sudah menyusul kemari. Kenapa? Apakah dia takut kalau aku mencurimu darinya?
Katakan padanya untuk tenang saja, karena aku masih memiliki jiwa seorang wanita. Aku pun tidak akan pernah rela kalau kekasihku direbut oleh orang lain.
“Hai, Ran.” Dia menyapaku dengan riang. Oh ya, dia tentu tidak tahu tentang perasaanku padamu kan? Kecuali dia seorang cenayang yang tahu isi pikiran orang.
“Hai, Bulan. Lama nggak ketemu.” Aku ikut berbasa-basi. Padahal enggan rasanya aku terus-menerus memasang wajah tak ada masalah seperti ini. Aku merasa seperti penipu.
“Nih, aku bawain roti bikinanku sendiri, buat kalian semua.”
Senangnya kamu memiliki kekasih sepertinya. Bahkan dengan berat hati aku harus membenarkan komentar semua orang yang memuji keterampilan kekasihmu.
Lalu dia beralih padamu, “Ini buat Ibu.” Dia berkata dengan senyuman.
Ada apa denganmu? Kenapa kamu tidak menanggapi sikap kekasihmu dengan baik sebagaimana yang seharusnya?
Dia mengikutimu masuk ke dalam. Beberapa saat kalian di dalam. Entah apa yang kalian bicarakan. Aku penasaran. Tapi aku tidak ingin tahu. Tidak jika itu akan semakin membuatku terluka.
Hampir setengah jam lamanya kalian di dalam. Bukan hanya aku yang penasaran dengan apa yang terjadi dengan kalian. Tetapi hanya aku yang tidak menyuarakan keheranan apapun.
Kalian keluar. Kami pura-pura sibuk dengan pekerjaan kami. Mengacuhkan kalian, walaupun sangat terlihat kecanggungan kami.
Rahang wajahmu mengeras.
Mata kekasihmu memerah.
Jangan katakan padaku kalian habis bertengkar. Jangan katakan apapun, karena aku akan merasa senang di atas penderitaan kalian.
Kekasihmu mendekatiku. “Lagi sibuk ya?” tanyanya. Suaranya sedikit sengau. Dia benar-benar habis menangis.
“Kenapa?” aku tidak mengharapkan kamu mengatakan apapun padaku.
“Anterin keluar yuk,” bisiknya. “Aku pulang dulu ya..”
Terpaksa aku menurut dan bangkit berdiri mengantarnya sampai depan rumahmu. Kamu ikut berdiri juga.
Di depan, dia menangis di hadapanku.
“Kamu kenapa?” tanyaku.
Dia tidak menjawab, hanya terus menangis.
“Aku nggak papa, Ran. Makasih ya.” Lalu dia berlalu dengan motor maticnya.
Aku masih berdiri menunggu sosoknya menghilang di balik tikungan.
“Ran,” kamu memanggilku. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama kamu memanggil namaku. Ran. Bukan Anggrek.
“Apa yang terjadi padanya?” akhirnya aku mengakhiri perang dingin diantara kita.
“Nggak papa kok. Perasaannya lagi sensitif.” Jawabmu, yang sepenuhnya kuyakin bukan jawaban yang sejujurnya. Sudahlah, toh sudah kutegaskan tadi aku tidak ingin jawaban jujur.
“Kami sama-sama jenuh.”
Sudah kukatakan aku tidak ingin mendengar jawabanmu yang sebenarnya!
Aku segera masuk ke dalam rumahmu. Mengacuhkanmu yang masih berdiri di teras rumah.
=.=.=