Kamis, 25 Oktober 2012

Halaman Samping : Belongs To You - Part 2

gara-gara patah hati,, nggak niat nulis... akhirnya hunting file-file, dan memutuskan untuk post ini..

Happy reading


“Karena itu kami minta kepadamu, nikmatilah hidupmu layaknya semua orang yang seumuran denganmu. Aku tidak melarangmu untuk membantuku di perusahaan, karena bantuanmu memang sangat diperlukan.”
Perkataan ayahnya tadi masih terngiang di telinga Alex sekembalinya dia ke apartemen. Dia menolak menggunakan asrama mahasiswa dan tak ada yang berani menentangnya, bahkan ibunya, karena dia mengancam tidak akan mau kuliah jika dia tinggal di asrama. Lagipula Alex merasa dia tidak butuh kuliah, siapa yang mau mengajari orang yang bahkan lebih memahami materi yang diajarkan kepadanya?
Alex membaringkan tubuhnya di sofa tua yang dibawanya dari rumah. Sofa ini adalah sofa kesayangannya, tempat tidur keduanya sejak dia kecil dulu. Otaknya berputar lambat. Dia sudah lancar membaca sejak usianya tiga tahun, saat TK bacaannya adalah koran bisnis ayahnya. Tidak ada anak yang tahu apa yang dia bicarakan. Waktu sekolah dasar, dia sudah berhasil memecahkan soal integral tingkat lanjut. Tak ada anak yang mau mengajaknya bermain, karena dia selalu menolak dan mereka sudah bosan mendapat jawaban “tidak” yang diucapkan dari balik buku. Gurunya menawarkan agar dia mengikuti ujian penyetaraan SMU, tapi orang tuanya menolak. Memasuki masa SMU, tak ada yang cukup berani untuk mendekatinya yang saat itu sudah memegang jabatan sebagai General Manajer. Dan sekarang, dia hidup sendiri dengan tanpa seorang pun yang merasa dekat dengannya kecuali orang tuanya.
Sebenarnya bukannya tak ada seorang pun yang mendekatinya. Tapi Alex yang paham betul motif orang-orang yang mendekatinya (apa lagi kalau bukan kartu kreditnya yang unlimited dan jumlah uang yang tersimpan pada rekening atas namanya) keburu menjauh dan memasang pagar tinggi yang membatasi dirinya.
Telepon selulernya bergetar. Rupanya dia lupa menonaktifkan silent modenya. Ada panggilan masuk.
“Halo Justin.” Sapa Alex pada peneleponnya. Justin adalah sepupu dari pihak ibunya. Mereka seumuran, dan Justin adalah satu-satunya orang seumur Alex yang betah bercakap-cakap lebih dari lima menit.
“Kau tahu, aku tidak suka dengan hal semacam itu..” tolak Alex saat Justin memintanya untuk datang ke pesta yang diadakan temannya.
“Oh, berhentilah mengatakan hal itu,” protesnya ketika soal ibunya yang cerewet mengenai masalah seorang-gadis-saja-Alex-atau-kau-seorang-gay diungkit-ungkit. “Baiklah, baik Justin. Oke, kau puas?” Bentaknya dengan mata mendelik kesal. Tapi percuma saja dia mendelik begitu, toh sepupunya itu tak akan melihat betapa kesalnya dia padanya.
“Terserah kau saja.” Dan Alex memutus sambungan telepon setelah Justin menjanjikan akan banyak gadis cantik yang akan tertarik padanya di pesta. Tentu saja gadis-gadis itu akan tertarik, terutama bila melihat latar belakang seorang Alex Louthier. Mereka pasti akan berebut untuk mendekatinya. Dan Alex pastii tidak akan suka.

$$$

“Alex, kau haruspulang ke rumah sekarang juga.”
Perintah ibunya itu membuat Alex tak punya pilihan lain. Dikemudikannya mercy kesayangannya menyusuri jalanan menuju rumah orang tuanya. Satu hal yang sangat dia rindukan dari rumah putih itu adalah kekacauan yang ditimbulkan ibunya saat mencoba berbagai resep masakan. Ibunya, yang saat muda bernama Kathrin William, suka memasak meski tidak memiliki keahlian dalam hal itu. Bukan perpaduan yang bagus menurut Alex, karena dia tidak suka saat diminta untuk mencicipi pasta yang keasinan atau menghabiskan pudding yang terlalu banyak mengandung krim dan gula.
“Oh, kau benar-benar pulang.” Seru ibunya riang, persis seperti remaja belasan tahun, sambil memeluk putra semata wayangnya dan memberi kecupan sayang.
Ibunya mengenakan celemek, berarti seperti yang Alex bayangkan, dia sedang mengacau di dapur. Para pelayan tidak berani menegur dan hanya bisa memperbaiki kekacauan yang nyonya rumah mereka perbuat. Terlebih Jonathan Louthier yang memegang kendali penuh atas rumah ini juga tidak berani mengusik kebiasaan istrinya. Kathrin memang tidak seperti kebanyakan istri para konglomerat lainnya. Kesediannya memakai celemek membuat perbedaan itu terlihat jelas.
“Bukankah ibu yang memintaku pulang, ada apa?”
“Kenapa kau buru-buru begitu. Aku kangen padamu, Sayang.” Kathrin menarik tangan putranya ke dapur. “Coba ini,” dia menyodorkan setoples penuh biskuit coklat.
Alex ragu. Ingatannya akan insiden sakit perut tiga hari tiga malam bulan lalu kembali terngiang.
“Ayo ambil. Cobalah, kumohon.” Ibunya bisa melihat keraguan Alex.
Dengan tujuan tak ingin melukai perasaan ibunya, Alex mengambil sebuah kue berbentuk bintang dari dalam toples. Dia benar-benar menyiapkan tubuhnya menerima efek kejutan dari biskuit coklat yang kelihatan tak berdosa ini.
Hei, tak terjadi apa-apa. Alex menelan potongan terakhir biskuitnya dan sejauh ini dia baik-baik saja. Bahkan dengan besar hati dia mengakui bahwa kali ini ibunya lulus.
“Mom, ini enak.” Pujinya tulus, “Belajar dimana?”
“Benarkah?” dia benar-benar girang bukan buatan mendapat pujian dari putranya. Baru kali ini dia menerima pujian tentang hasil karyanya di dapur dari Alex.
Alex mengangguk. Untuk meyakinkan dia juga mengambil lagi sepotong biskuit dan memakannya.
Ibunya percaya, karena selama ini Alex, atau siapa pun, tidak ada yang mau mengambil lagi hasil masakannya. Senyuman lebar tersungging di wajahnya yang masih terlihat cantik.
“Mandy yang mengajariku. Bahkan dia tadi membantuku. Sayang sekali kau tidak segera pulang tadi, jadinya kau tak sempat bertemu dengannya.” Cerita ibunya.
Otak Alex bekerja cepat. Siapa itu Mandy? Dan jawabannya muncul tepat seperti apa yang dia pikirkan.
“Semalam aku dan ayahmu mengunjungi teman SMAku. Dia teman baikku, dan kabar teakhir yang kuterima darinya adalah dia ikut suaminya di Prancis. Aku bertemu dengannya di swalayan secara tak sengaja, rupanya dia sudah kembali ke negara ini sekarang. Lalu aku meminta ayahmu untuk mengunjunginya. Dan coba tebak, dia punya seorang anak perempuan.”
Dan alurnya sudah Alex hafal di luar kepala. Ibunya jatuh cinta pada Mandy yang jago masak (kenapa tidak ibunya saja yang berkencan dengan si Mandy ini?) dan memintanya untuk mengajarinya memasak. Mandy bersedia, dan hari ini bersedia datang. Katanya dia sudah mengambil program kelas memasak dan lulus dalam waktu enam bulan, sekarang dia sedang kuliah di bidang desain interior atau semacamnya.
Maka malam ini, Alex terdampar di kamarnya yang masih sama persis seperti saat terakhir kali dia mendekorasi ulang kamar ini tiga tahun lalu. Warna dindingnya yang biru gelap terkesan kontras saat dibandingkan dengan keseluruhan rumah yang bernuansa putih. Alex tak punya kekuatan untuk menolak karena ibunya sudah mendengar tentang pesta yang dia datangi bersama Justin kemarin lusa.
“Bahkan kau pun tak bisa memilih seorang gadis untuk diajak berdansa di pesta.”
Ibunya memang selalu melebih-lebihkan.

$$$




sedikit bocoran, sebenarnya aku masih bingung mau aku apakan cerita ini, tapi karena kemarin sudah terlanjur pos, aku usahakan selesai... -___-)!