gara-gara patah hati,, nggak niat nulis... akhirnya hunting file-file, dan memutuskan untuk post ini..
Happy reading
Happy reading
“Karena itu kami minta kepadamu, nikmatilah hidupmu layaknya
semua orang yang seumuran denganmu. Aku tidak melarangmu untuk membantuku di
perusahaan, karena bantuanmu memang sangat diperlukan.”
Perkataan ayahnya tadi masih terngiang di telinga Alex
sekembalinya dia ke apartemen. Dia menolak menggunakan asrama mahasiswa dan tak
ada yang berani menentangnya, bahkan ibunya, karena dia mengancam tidak akan
mau kuliah jika dia tinggal di asrama. Lagipula Alex merasa dia tidak butuh
kuliah, siapa yang mau mengajari orang yang bahkan lebih memahami materi yang
diajarkan kepadanya?
Alex membaringkan tubuhnya di sofa tua yang dibawanya dari
rumah. Sofa ini adalah sofa kesayangannya, tempat tidur keduanya sejak dia
kecil dulu. Otaknya berputar lambat. Dia sudah lancar membaca sejak usianya
tiga tahun, saat TK bacaannya adalah koran bisnis ayahnya. Tidak ada anak yang
tahu apa yang dia bicarakan. Waktu sekolah dasar, dia sudah berhasil memecahkan
soal integral tingkat lanjut. Tak ada anak yang mau mengajaknya bermain, karena
dia selalu menolak dan mereka sudah bosan mendapat jawaban “tidak” yang
diucapkan dari balik buku. Gurunya menawarkan agar dia mengikuti ujian
penyetaraan SMU, tapi orang tuanya menolak. Memasuki masa SMU, tak ada yang
cukup berani untuk mendekatinya yang saat itu sudah memegang jabatan sebagai
General Manajer. Dan sekarang, dia hidup sendiri dengan tanpa seorang pun yang
merasa dekat dengannya kecuali orang tuanya.
Sebenarnya bukannya tak ada seorang pun yang mendekatinya.
Tapi Alex yang paham betul motif orang-orang yang mendekatinya (apa lagi kalau
bukan kartu kreditnya yang unlimited dan jumlah uang yang tersimpan pada
rekening atas namanya) keburu menjauh dan memasang pagar tinggi yang membatasi
dirinya.
Telepon selulernya bergetar. Rupanya dia lupa menonaktifkan
silent modenya. Ada panggilan masuk.
“Halo Justin.” Sapa Alex pada peneleponnya. Justin adalah
sepupu dari pihak ibunya. Mereka seumuran, dan Justin adalah satu-satunya orang
seumur Alex yang betah bercakap-cakap lebih dari lima menit.
“Kau tahu, aku tidak suka dengan hal semacam itu..” tolak
Alex saat Justin memintanya untuk datang ke pesta yang diadakan temannya.
“Oh, berhentilah mengatakan hal itu,” protesnya ketika soal
ibunya yang cerewet mengenai masalah
seorang-gadis-saja-Alex-atau-kau-seorang-gay diungkit-ungkit. “Baiklah, baik
Justin. Oke, kau puas?” Bentaknya dengan mata mendelik kesal. Tapi percuma saja
dia mendelik begitu, toh sepupunya itu tak akan melihat betapa kesalnya dia
padanya.
“Terserah kau saja.” Dan Alex memutus sambungan telepon
setelah Justin menjanjikan akan banyak gadis cantik yang akan tertarik padanya
di pesta. Tentu saja gadis-gadis itu akan tertarik, terutama bila melihat latar
belakang seorang Alex Louthier. Mereka pasti akan berebut untuk mendekatinya.
Dan Alex pastii tidak akan suka.
$$$
“Alex, kau haruspulang ke rumah sekarang juga.”
Perintah ibunya itu membuat Alex tak punya pilihan lain.
Dikemudikannya mercy kesayangannya menyusuri jalanan menuju rumah orang tuanya.
Satu hal yang sangat dia rindukan dari rumah putih itu adalah kekacauan yang
ditimbulkan ibunya saat mencoba berbagai resep masakan. Ibunya, yang saat muda
bernama Kathrin William, suka memasak meski tidak memiliki keahlian dalam hal
itu. Bukan perpaduan yang bagus menurut Alex, karena dia tidak suka saat
diminta untuk mencicipi pasta yang keasinan atau menghabiskan pudding yang
terlalu banyak mengandung krim dan gula.
“Oh, kau benar-benar pulang.” Seru ibunya riang, persis
seperti remaja belasan tahun, sambil memeluk putra semata wayangnya dan memberi
kecupan sayang.
Ibunya mengenakan celemek, berarti seperti yang Alex
bayangkan, dia sedang mengacau di dapur. Para pelayan tidak berani menegur dan
hanya bisa memperbaiki kekacauan yang nyonya rumah mereka perbuat. Terlebih
Jonathan Louthier yang memegang kendali penuh atas rumah ini juga tidak berani
mengusik kebiasaan istrinya. Kathrin memang tidak seperti kebanyakan istri para
konglomerat lainnya. Kesediannya memakai celemek membuat perbedaan itu terlihat
jelas.
“Bukankah ibu yang memintaku pulang, ada apa?”
“Kenapa kau buru-buru begitu. Aku kangen padamu, Sayang.”
Kathrin menarik tangan putranya ke dapur. “Coba ini,” dia menyodorkan setoples
penuh biskuit coklat.
Alex ragu. Ingatannya akan insiden sakit perut tiga hari
tiga malam bulan lalu kembali terngiang.
“Ayo ambil. Cobalah, kumohon.” Ibunya bisa melihat keraguan
Alex.
Dengan tujuan tak ingin melukai perasaan ibunya, Alex
mengambil sebuah kue berbentuk bintang dari dalam toples. Dia benar-benar
menyiapkan tubuhnya menerima efek kejutan dari biskuit coklat yang kelihatan
tak berdosa ini.
Hei, tak terjadi apa-apa. Alex menelan potongan terakhir
biskuitnya dan sejauh ini dia baik-baik saja. Bahkan dengan besar hati dia
mengakui bahwa kali ini ibunya lulus.
“Mom, ini enak.” Pujinya tulus, “Belajar dimana?”
“Benarkah?” dia benar-benar girang bukan buatan mendapat
pujian dari putranya. Baru kali ini dia menerima pujian tentang hasil karyanya
di dapur dari Alex.
Alex mengangguk. Untuk meyakinkan dia juga mengambil lagi
sepotong biskuit dan memakannya.
Ibunya percaya, karena selama ini Alex, atau siapa pun,
tidak ada yang mau mengambil lagi hasil masakannya. Senyuman lebar tersungging
di wajahnya yang masih terlihat cantik.
“Mandy yang mengajariku. Bahkan dia tadi membantuku. Sayang
sekali kau tidak segera pulang tadi, jadinya kau tak sempat bertemu dengannya.”
Cerita ibunya.
Otak Alex bekerja cepat. Siapa itu Mandy? Dan jawabannya
muncul tepat seperti apa yang dia pikirkan.
“Semalam aku dan ayahmu mengunjungi teman SMAku. Dia teman
baikku, dan kabar teakhir yang kuterima darinya adalah dia ikut suaminya di
Prancis. Aku bertemu dengannya di swalayan secara tak sengaja, rupanya dia
sudah kembali ke negara ini sekarang. Lalu aku meminta ayahmu untuk
mengunjunginya. Dan coba tebak, dia punya seorang anak perempuan.”
Dan alurnya sudah Alex hafal di luar kepala. Ibunya jatuh
cinta pada Mandy yang jago masak (kenapa tidak ibunya saja yang berkencan
dengan si Mandy ini?) dan memintanya untuk mengajarinya memasak. Mandy
bersedia, dan hari ini bersedia datang. Katanya dia sudah mengambil program
kelas memasak dan lulus dalam waktu enam bulan, sekarang dia sedang kuliah di
bidang desain interior atau semacamnya.
Maka malam ini, Alex terdampar di kamarnya yang masih sama
persis seperti saat terakhir kali dia mendekorasi ulang kamar ini tiga tahun
lalu. Warna dindingnya yang biru gelap terkesan kontras saat dibandingkan
dengan keseluruhan rumah yang bernuansa putih. Alex tak punya kekuatan untuk
menolak karena ibunya sudah mendengar tentang pesta yang dia datangi bersama
Justin kemarin lusa.
“Bahkan kau pun tak bisa memilih seorang gadis untuk diajak
berdansa di pesta.”
Ibunya memang selalu melebih-lebihkan.
$$$
sedikit bocoran, sebenarnya aku masih bingung mau aku apakan cerita ini, tapi karena kemarin sudah terlanjur pos, aku usahakan selesai... -___-)!