Jumat, 07 Desember 2012

Random Project: Cerita Dinar Part #5.1

sebenernya itu pengen aku bikin jadi part terakhir.. terlalu panjang jadinya, jadi terpaksa aku bikin .1 dan .2
maaf... kalau tidak sesuai dengan yang aku janjikan sebelumnya...
dan alasan lainnya karena ceritanya belum selesai.. tinggak dua adegan terakhir, tapi otak sedang disibukkan dengan pikiran-pikiran lain yang melelahkan..
jadii.. selamat membaca,, ^^


©©©
Pikiran Dinar kacau. Beberapa kali pikirannya menentangnya untuk datang ke akad nikah Uli. Tapi kemudian hatinya berbisik menyuruhnya menghadiri acara itu.

“Mbak, tolong datang ke akad nikah ya.. maaf kalau membuat Mbak Dinar nggak nyaman sama permintaanku, tapi Mas Uli butuh dukungan Mbak Dinar.”

Andini yang mengatakannya. Melalui sambungan telepon. Pasti Uli yang memberi nomor teleponnya kepada Andini, siapa lagi. Sepulangnya dari ‘kencan’ mereka, Uli memang meminta nomornya.

Dinar masih belum menemukan alasan untuk menolak permintaan Andini, ataupun menerimanya. Dia tidak yakin dengan hatinya sendiri.
Dia memang masih menyukai mantan rivalnya itu, sangat. Tapi dia juga tidak menginginkan Uli untuk ada di sisinya. Dinar tidak pernah memimpikan bahwa akan ada Uli di hidupnya di masa depan.

“Aku memang masih menyukaimu Dinar, tapi Andini adalah satu-satunya orang yang ingin kunikahi.” Begitu kata Uli, dan kata itu juga yang dia gunakan untuk meyakinkan Andini saat dia melamar gadis itu agar mau menikah dengannya.


Dan disinilah dia sekarang, berada di kamar pengantin, dimana Andini sedang dirias.
Ini pertama kalinya Dinar bertemu muka dengan Andini. Sejak Uli memberinya undangan dan mengatakan padanya akan menikahi seseorang bernama Andini – bahkan setelah perkenalan mereka melalui bermacam media – baru sekarang Dinar bertemu langsung dengannya. Cantik. Itu kesan pertama saat Dinar melihatnya. Kecantikan yang Dinar lihat bukan disebabkan karena make up pengantin yang sudah dikenakan Andini saat Dinar tiba di rumahnya. Tapi karena senyum Andini mampu menyihirnya untuk ikut tersenyum.

“Aku gugup, Mbak..” bisik Andini tanpa bisa menyembunyikan nada gugupnya.
Tentu saja dia gugup. Setelah ini dia akan memasuki sebuah kehidupan baru.

“Iya,” jawab Dinar sambil menggenggam tangannya yang sedingin es. Mencoba menyalurkan kekuatan untuk Andini.

Tinggal Dinar dan Andini di dalam ruangan ini. Ibu Andini sibuk menyambut para tamu dan kerabat yang datang begitu pun dengan saudara-saudanya; perias pengantin pun telah keluar setelah selesai mendandani Andini.

“Aku hampir saja membatalkan acara pernikahan ini.” Celetuk Andini tiba-tiba mengagetkan Dinar.

“Iya, waktu Mas Uli ijin buat pergi sama Mbak, dan seharian aku nggak boleh menghubungi Mas Uli..” ceritanya sambil tertawa kecil, mencoba menghilangkan kegugupan yang menyerangnya.

“Andin..”

“Pikiranku waktu itu udah kacau Mbak. Dari awal aku tahu Mbak itu kekuatan Mas Uli, Mbak udah tahu kan, masa lalu Mas Uli?” aku mengangguk membenarkan, “Menyadari kenyataan, bahwa Mas Uli lagi berdua sama Mbak, imajinasiku udah kemana-mana.”

“Tapi Uli itu melamar kamu Andin, bukan aku..” Dinar mencoba memberinya pengertian.

“Iya, Mbak aku tahu. Tapi pikiran negatif itu kan susah buat dicegah. Aku bahkan sampai ngebayangin Mas Uli ngajak Mbak Dinar kawin lari lho..” dia terkekeh menceritakan salah satu pikirannya.

Dinar tercengang mendengarnya. “Kalaupun Uli sampai ngajak aku kawin lari, aku yang bakalan lari dari dia duluan, Andin.” Sahutku menghentikan tawa getirnya diiringi sebuah senyum untuk menenangkannya.

“Di hatiku memang ada tempat untuk Uli, tapi bukan sebagai seseorang yang ingin kujadikan teman seumur hidupku.” Tambah Dinar menjelaskan. “Dan aku yakin, Uli juga begitu. Uli tidak menginginkanku untuk menjadi teman hidupnya, dia hanya mau kamu.”

Setelah mengatakan itu, Andini langsung menubruk tubuh Dinar dan memeluknya. Terdengar isakan pelan.

“Sst, pengantin dilarang nangis. Nanti bedaknya luntur.” Bisik  Dinar dengan nada lembur, seperti mencoba member pengetian kepada anak kecil.

Andini tidak lama menangis dalam pelukan Dinar, karena beberapa saat setelah dia memeluk Dinar, pintu kamarnya terbuka dan ibunya menyuruhnya untuk segera keluar. Uli dan keluarganya telah datang. Acara akad nikah akan segera dimulai.

©©©

“Saya terima nikah dan kawinnya Andini Oktavia binti Ahmad Sudrajat dengan mas kawin yang tersebut tunai.” Uli menyebutkan bacaan ijabnya dengan tenang namun masih terdengar tegas.

“Sah?”

“Sah.”

“Sah.”

Petugas KUA yang duduk di samping Ayah Andini memimpin doa nikah untuk kedua mempelai.
Dinar lega mendengarnya. Dihapusnya air mata yang tanpa dia sadari menitik dari kedua sudut matanya, sebelum ada orang yang melihat dan bertanya. Walaupun saat ini posisinya sedang menyembunyikan diri di ruangan halaman samping rumah keluarga Andini. Dinar sengaja menghindar, karena tahu hatinya masih belum sepenuhnya menerima jika Uli akhirnya memiliki tanggung jawab baru sampai ajal menjemput.

Getaran dari dalam tas tangan Dinar sedikit membuatnya tersentak kaget. Getarannya cukup panjang, sebuah panggilan telepon.

“Iya,” jawabnya setelah memberikan salam.

“Sekarang?” tanyanya bingung mendengar pernyataan si peneleponnya.

“Tapi aku lagi dirumah temanku yang sedang menikah, baru saja akad nikah. Iya, iya. Aku pulang sekarang.” Katanya lalu menutup hubungan telepon.


t.b.c.

maaf,, baru segini dulu untuk part ini poin 1..  dan ditengah kegalauan dengan setumpuk tugas dan waktu yang terus berputar tanpa menganal kompromi, menyadarkanku bahwa aku sudah semakin bertambah tua (--,) 

salam,