sebenernya itu pengen aku bikin jadi part terakhir.. terlalu panjang jadinya, jadi terpaksa aku bikin .1 dan .2
maaf... kalau tidak sesuai dengan yang aku janjikan sebelumnya...
dan alasan lainnya karena ceritanya belum selesai.. tinggak dua adegan terakhir, tapi otak sedang disibukkan dengan pikiran-pikiran lain yang melelahkan..
jadii.. selamat membaca,, ^^
maaf... kalau tidak sesuai dengan yang aku janjikan sebelumnya...
dan alasan lainnya karena ceritanya belum selesai.. tinggak dua adegan terakhir, tapi otak sedang disibukkan dengan pikiran-pikiran lain yang melelahkan..
jadii.. selamat membaca,, ^^
©©©
Pikiran Dinar kacau. Beberapa
kali pikirannya menentangnya untuk datang ke akad nikah Uli. Tapi kemudian
hatinya berbisik menyuruhnya menghadiri acara itu.
“Mbak, tolong datang ke akad
nikah ya.. maaf kalau membuat Mbak Dinar nggak nyaman sama permintaanku, tapi
Mas Uli butuh dukungan Mbak Dinar.”
Andini yang mengatakannya.
Melalui sambungan telepon. Pasti Uli yang memberi nomor teleponnya kepada
Andini, siapa lagi. Sepulangnya dari ‘kencan’ mereka, Uli memang meminta
nomornya.
Dinar masih belum menemukan
alasan untuk menolak permintaan Andini, ataupun menerimanya. Dia tidak yakin
dengan hatinya sendiri.
Dia memang masih menyukai mantan
rivalnya itu, sangat. Tapi dia juga tidak menginginkan Uli untuk ada di
sisinya. Dinar tidak pernah memimpikan bahwa akan ada Uli di hidupnya di masa
depan.
“Aku memang masih menyukaimu
Dinar, tapi Andini adalah satu-satunya orang yang ingin kunikahi.” Begitu kata
Uli, dan kata itu juga yang dia gunakan untuk meyakinkan Andini saat dia
melamar gadis itu agar mau menikah dengannya.
Dan disinilah dia sekarang,
berada di kamar pengantin, dimana Andini sedang dirias.
Ini pertama kalinya Dinar bertemu
muka dengan Andini. Sejak Uli memberinya undangan dan mengatakan padanya akan
menikahi seseorang bernama Andini – bahkan setelah perkenalan mereka melalui
bermacam media – baru sekarang Dinar bertemu langsung dengannya. Cantik. Itu
kesan pertama saat Dinar melihatnya. Kecantikan yang Dinar lihat bukan
disebabkan karena make up pengantin
yang sudah dikenakan Andini saat Dinar tiba di rumahnya. Tapi karena senyum
Andini mampu menyihirnya untuk ikut tersenyum.
“Aku gugup, Mbak..” bisik Andini
tanpa bisa menyembunyikan nada gugupnya.
Tentu saja dia gugup. Setelah ini
dia akan memasuki sebuah kehidupan baru.
“Iya,” jawab Dinar sambil
menggenggam tangannya yang sedingin es. Mencoba menyalurkan kekuatan untuk
Andini.
Tinggal Dinar dan Andini di dalam
ruangan ini. Ibu Andini sibuk menyambut para tamu dan kerabat yang datang
begitu pun dengan saudara-saudanya; perias pengantin pun telah keluar setelah
selesai mendandani Andini.
“Aku hampir saja membatalkan
acara pernikahan ini.” Celetuk Andini tiba-tiba mengagetkan Dinar.
“Iya, waktu Mas Uli ijin buat
pergi sama Mbak, dan seharian aku nggak boleh menghubungi Mas Uli..” ceritanya
sambil tertawa kecil, mencoba menghilangkan kegugupan yang menyerangnya.
“Andin..”
“Pikiranku waktu itu udah kacau
Mbak. Dari awal aku tahu Mbak itu kekuatan Mas Uli, Mbak udah tahu kan, masa
lalu Mas Uli?” aku mengangguk membenarkan, “Menyadari kenyataan, bahwa Mas Uli
lagi berdua sama Mbak, imajinasiku udah kemana-mana.”
“Tapi Uli itu melamar kamu Andin,
bukan aku..” Dinar mencoba memberinya pengertian.
“Iya, Mbak aku tahu. Tapi pikiran
negatif itu kan susah buat dicegah. Aku bahkan sampai ngebayangin Mas Uli
ngajak Mbak Dinar kawin lari lho..” dia terkekeh menceritakan salah satu
pikirannya.
Dinar tercengang mendengarnya.
“Kalaupun Uli sampai ngajak aku kawin lari, aku yang bakalan lari dari dia
duluan, Andin.” Sahutku menghentikan tawa getirnya diiringi sebuah senyum untuk
menenangkannya.
“Di hatiku memang ada tempat
untuk Uli, tapi bukan sebagai seseorang yang ingin kujadikan teman seumur
hidupku.” Tambah Dinar menjelaskan. “Dan aku yakin, Uli juga begitu. Uli tidak
menginginkanku untuk menjadi teman hidupnya, dia hanya mau kamu.”
Setelah mengatakan itu, Andini
langsung menubruk tubuh Dinar dan memeluknya. Terdengar isakan pelan.
“Sst, pengantin dilarang nangis.
Nanti bedaknya luntur.” Bisik Dinar
dengan nada lembur, seperti mencoba member pengetian kepada anak kecil.
Andini tidak lama menangis dalam
pelukan Dinar, karena beberapa saat setelah dia memeluk Dinar, pintu kamarnya
terbuka dan ibunya menyuruhnya untuk segera keluar. Uli dan keluarganya telah
datang. Acara akad nikah akan segera dimulai.
©©©
“Saya terima nikah dan kawinnya
Andini Oktavia binti Ahmad Sudrajat dengan mas kawin yang tersebut tunai.” Uli
menyebutkan bacaan ijabnya dengan tenang namun masih terdengar tegas.
“Sah?”
“Sah.”
“Sah.”
Petugas KUA yang duduk di samping
Ayah Andini memimpin doa nikah untuk kedua mempelai.
Dinar lega mendengarnya.
Dihapusnya air mata yang tanpa dia sadari menitik dari kedua sudut matanya,
sebelum ada orang yang melihat dan bertanya. Walaupun saat ini posisinya sedang
menyembunyikan diri di ruangan halaman samping rumah keluarga Andini. Dinar
sengaja menghindar, karena tahu hatinya masih belum sepenuhnya menerima jika
Uli akhirnya memiliki tanggung jawab baru sampai ajal menjemput.
Getaran dari dalam tas tangan
Dinar sedikit membuatnya tersentak kaget. Getarannya cukup panjang, sebuah
panggilan telepon.
“Iya,” jawabnya setelah
memberikan salam.
“Sekarang?” tanyanya bingung
mendengar pernyataan si peneleponnya.
“Tapi aku lagi dirumah temanku
yang sedang menikah, baru saja akad nikah. Iya, iya. Aku pulang sekarang.”
Katanya lalu menutup hubungan telepon.
t.b.c.
maaf,, baru segini dulu untuk part ini poin 1.. dan ditengah kegalauan dengan setumpuk tugas dan waktu yang terus berputar tanpa menganal kompromi, menyadarkanku bahwa aku sudah semakin bertambah tua (--,)
salam,