Nggak tau, kesambet apa waktu ngayal ini.. tapi kok, malah jadi keterusan.. ketahuan banget ngayalnya.. imajinasi parah. Agak terlalu biasa memang, tapi aku termasuk orang yang suka dengan hal-hal seperti ini..
selamat membaca
p.s. jika ada kesamaan nama dan tokoh dan tempat, maaf-maaf saja, ada kemungkinan itu saya sengaja.. tapi murni ini bukan buat menyinggung atau apapun.. cuman buat seneng-seneng aja.. :')
Alex berjalan lambat utuk ukuran kebanyakan orang
disekelilingnya yang berjalan cepat. Tak ada yang memburu waktunya hingga dia
harus bergegas saat ini. Lagipula, siapa yang sudah begitu bodoh mau
menyuruhnya untuk bergegas, sama saja orang itu mencari mati.
Siapa yang tidak mengenal Alexander Louthier Jr.? Pewaris
tunggal perusahaan raksasa Eternity yang bergerak di bidang IT dan menguasai
hampir separuh pasaran dunia. Usianya memang belum genap 20 tahun, tapi siapa
yang meragukan kemampuan manajerialnya. Bahkan ayahnya pun percaya padanya dan
menjadikan pemuda yang dinamakan seperti nama kakeknya itu sebagai Direktur
Operasional. Tidak ada yang mamprotes keputusan tersebut, karena toh
kemampuannya sudah Nampak sejak dia berusia 10 tahun.
Waktu itu perusahaan sempat mengalami masalah sulit, dan
Alex lah yang berjasa mengatasi masalah itu dengan analogi sederhana yang tidak akan pernah dipikirkan
oleh anak seumurannya. Sejak saat itu, ayahnya selalu menjadikannya pusat
rujukan setiap kali ada masalah perusahaan.
“Bukankah seharusnya kau berada di ruang kuliah saat ini?”
Tanya Jonathan Louthier, ayah Alex, tanpa mengalihkan perhatiannya dari LCD
yang menunjukkan grafik perkembangan pemasaran produk perusahaannya.
Alex duduk dihadapan ayahnya tanpa diminta. “Ayolah Dad,
seharusnya aku bisa mendapatkan gelar sarjana bulan lalu. Tapi Dad menolak dan
bilang pada pihak universitas untuk meluluskanku dengan ‘wajar’.”
Itu benar. Dalam semester ketiganya, Alex berhasil memukau
dosen-dosennya. Dia sempat menerima tawaran untuk melakukan penelitian tentang
teori barunya, dan penelitian itu sudah berjalan lebih dari separuh, tapi
ayahnya secara sepihak menghentikan semua aktivitas penelitiannya. Alex masih
diberi kesempatan untuk melanjutkan penelitiannya dan membuktikan teorinya,
tapi tidak untuk memberinya gelar sarjana. Belum saatnya, begitu katanya.
“Kau seharusnya senang aku tidak memberimu izin untuk
menjadi, kata apa yang cocok disini, ah iya tua. Kau tidak sepatutnya tua lebih
awal. Aku merasa bersalah dengan memberimu tanggung jawab sebesar itu untukmu,
tapi aku tidak punya alternative lain, kau tahu.” Dia masih belum menatap Alex
saat mengatakan ini, “Ibumu bahkan mengeluh, karena kau agak tidak normal,
maaf.”
“Ah ya,” potong Alex, “Mom masih mengeluh tentang aku yang
tak kunjung membawa seorang gadis padanya.” Dia setengah geli saat membayangkan
ibunya.
“Tapi dia benar.” Sela ayahnya.
“Dad, kau tidak sedang menjadi Mom kan?” Alex memutar bola
matanya.
“Ayolah, apa salahnya kau bersikap layaknya anak seusiamu
Alex. Kau bahkan tidak mau menghadiri pesta prom-mu, oh ibumu masih mengeluh
soal hal ini.”
“Dad, kita sudah pernah membicarakan hal ini.” Alex terlihat
kurang nyaman dengan topic pembicaraan mereka kali ini.
“Iya, tapi kita belum mencapai kata sepakat. Perlu bagimu
untuk belajar mengenal orang lain, khususnya lawan jenismu. Bukan seperti
caramu mengenal karyawan di perusahaan ini.” Tambahnya cepat saat Alex terlihat
akan membantah. “Alexander, dulu aku dan ibumu sempat cemas saat kami
mendapatkan seorang bayi laki-laki. Kami takut kau akan menjadi anak yang
nakal, sering keluar malam, membolos sekolah, nilaimu hancur, sibuk merayu
gadis-gadis, menghamili anak orang,”
“Wow, imajinasi kalian sungguh hebat.” Puji Alex dalam nada
sarkastik.
“Saat melihatmu tumbuh, kami tahu ketakutan kami itu tak
beralasan.” Ujarnya seolah Alex tak menyela kalimatnya.
$$$