ini cerita bener-bener random, ngetik kalau pengen ngetik.. bikin scene yang seenaknya, nggak ngikutin alur yang seharusnya.. masih ada hubungan sama Cerita Cinta Dinar.. entah kenapa punya pikiran kepala yang lompat-lompat dan nggak bisa runtut..
untungnya nggak ada 'kewajiban' tambahan yang nuntut ini cerita jadi runtut ataupun frametime yang bisa bikin kejang-kejang..
next,, happy reading.. ^^
Dinar masih belum menemukan
alasan apa yang membawa Uli datang ke rumah orang tuanya pagi-pagi begini. Setelah
mengantar pulang Dinar semalam, Uli tidak mengatakan apapun yang memberi
petunjuk bahwa pagi harinya akan langsung berkunjung.
“Maaf kalau bikin kamu kaget,
karena aku datang pagi-pagi begini.” Rupanya Uli bisa membaca pikiran Dinar.
Sebelum Dinar sempat bertanya,
Uli sudah mengutarakan maksud kedatangannya. “Aku mau nganterin ini,” dia
mengangsurkan sebentuk kertas yang dia yakini sebagai undangan, “dan aku mau
mengajakmu untuk kencan.”
Dinar teringat pada senyum
seorang bocah kecil yang mewarnai hari-hari di kelasnya yang suram. Bocah itu
telah tumbuh dewasa sekarang, menjelma menjadi sosok yang tampan. Dan dia masih
bisa membuat Dinar sesak nafas, sama seperti duli.
Untuk menutupi rasa gugp, Dinar
mengalihkan perhatiannya pada undangan yang ada di tangannya. Ada inisial UA
yang terukir indah di sampul depan undangan. Siapa?
“Itu undangan pernikahanku.”
“Apa?” Dinar tidak bisa menutupi
rasa kagetnya. Uli akan menikah? Bagaimana bisa? Dengan siapa?
“Kenapa kaget? Aku sudah cukup
umur untuk menikah.” Seloroh Uli menertawakan kekagetan Dinar.
“Kamu akan menikah, tapi kamu
masih mau mengajakku untuk kencan?” nada suara Dinar masih menyiratkan
kekagetan, bercampur dengan nada heran.
Uli tertawa, memamerkan gigi yang
gingsulnya. Tawa yang sama seperti yang terakhir Dinar ingat.
“Jangan panik. Aku tidak akan
mengajakmu kawin lari. Lagipula, kamu adalah orang pertama yang kuberi
undangan.”
“Dasar gila!” sambar Dinar tanpa
bisa menyembunyikan nada sinis.
“Sebagai informasi, calon istriku
sudah memberikan izinnya untuk kita kencan.”
“Kalian sudah tidak waras!”
“Kumohon, Dinar.. ini untuk
penting untukku.” Pinta Uli dengan tatapan yang sama seperti saat Uli kecil
memohon padanya agar mau belajar kelompok.
Dinar yang merindukan tatapan itu,
luluh. “Tapi kenapa, Uli?”
Uli mengenal Dinar dengan baik,
meski mereka sudah belasan tahun tidak berhubungan, tapi Uli yakin Dinar masih
sama seperti Dinar yang dulu dia kenal. Dan keyakinannya itu benar. Dinar masih
sama seperti yang ada dalam ingatan Uli.
“Kalau kukatakan ini demi
kelangsungan hidupku selanjutnya, apa kamu akan percaya?”
©©©
to be continued ...
#now playing: Adele - Someone Like You