Aku
menyaru menjadi sesosok transparan, tidak perlu memiliki kekuatan Susan Storm,
tidak juga butuh jubah gaib Harry Potter. Aku bisa menjadi transparan jika ada
kamu dalam radius jarak pandangku. Sebisa mungkin aku menghindarimu. Setelah kejadian
tempo hari, saat pacar cantikmu mendatangiku. Menangis di hadapanku.
“Ran,
apakah kamu menyukai Trisna?” tanyanya dengan mata merah. Pasti dia habis
menangisimu. Oh, betapa kamu ini.. berani-beraninya membuat kekasih cantikmu
ini menangis.
Aku
tidak bisa menjawab. Aku menghindarkan diriku dari kebiasaan berbohong. Hanya tidak
mengatakan semuanya. Bukan berarti aku berbohong, kan?
“Kalau
memang kamu menyukainya, aku akan mundur, Ran.” Dia rupanya bukan seorang
penyabar. “Aku tidak kuat lagi, ini benar-benar menyiksaku.” Aliran air mata
terpeta di wajahnya. “Akan kulepas Ran, akan kulepas.” Katanya pasrah.
Aku
tidak bisa berkomentar apa-apa. Mengangkat kepalaku pun aku tidak sanggup. Rasanya
ada beban berton-ton yang menimpa kepalaku.
“Tadinya
kupikir, aku datang kemari aku akan mengamuk di hadapanmu.” Dia mulai
bercerita. “Tapi, saat melihatmu, aku jadi berpikir, apa salahmu. Apa salah
Trisna. Apakah hati kalian bisa disalahkan? Ini bukan persoalan benar-salah,
bukan mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Kamu menyukai Trisna, itu
hal yang benar. Trisna menyukaimu juga hal yang benar. Aku menyukai Trisna juga
bukan suatu kesalahan.”
Kali
ini, mataku membulat. Apa maksud perkataannya.
“Apa
maksudmu?” itulah satu-satunya kata yang kuucapkan.
Dia
tersenyum, sangat cantik meski wajah tersenyumnya dihiasi linangan air mata. “Jangan
lupa, aku masih temanmu.” Katanya, “Meskipun, mungkin untuk beberapa waktu aku
tidak ingin bertemu denganmu.”
Dan
dia membiarkanku jatuh dalam lubang rasa bersalah.
=.=.=
“Apa
sebenarnya maumu?” tanyaku pada akhirnya saat kamu berhasil menemukanku.
Kamu
dengan sengaja menungguku di depan pintu kosku. Meski selama ini aku berhasil
menghindar, tapi rupanya kamu lebih pintar. Kamu mendahuluiku yang biasanya
pergi satu jam lebih awal.
“Kita
perlu bicara.”
Disinilah
kita, duduk di beranda. Aku diam. Menunggumu berbicara. Tapi kamu masih diam.
“Apa
yang kamu lakukan pada Bulan?” tembakku langsung, mulai tidak nyaman dengan
keadaan diam yang terjadi ini.
“Aku
tidak melakukan apapun. Dia yang memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami.” Jawabanmu
defensif.
“Apa
yang sudah kamu katakan padanya?” tuntutku.
“Aku
juga tidak mengatakan apapun padanya.” Jawabanmu masih membela diri.
“Tapi
sikapmu telah mengatakan semua yang ingin dia ketahui. Kamu telah menyakiti
perasaannya.”
Aku
menghela nafas. Suasana seperti inilah yang selama ini ingin kuhindari.
“Dia
sendiri yang memilih untuk mengakhiri hubungan kami.” Kamu mengulangi perkataanmu.
“Tapi
kamu penyebabnya. Karena hatimu berubah. Kamu membuatnya merasa tidak lagi
penting untukmu.”
Aku
tak bisa menahan air mataku. Aku menangis di hadapanmu. Sesuatu yang juga ingin
kuhindari, sebenarnya.
“Ini
nggak adil, untuk Bulan, untukku, untukmu. Ini sulit.”
=.=.=
Setelah
pembicaraan itu, kamu tidak lagi berusaha menemuiku. Bukan hanya aku yang
menghindar. Tapi kamu juga menghindariku.
Lagi-lagi
kamu mengimbangi sikapku.
Sayangnya,
hatiku menghianatiku. Aku merindukanmu. Merindukan dirimu yang dulu. Sebelum
semua kekacauan ini terjadi.
=.=.=