Kamis, 11 Oktober 2012

RIN'S QUEST: SCENE #6 DIA, KAMU, DAN AKU


Aku menyaru menjadi sesosok transparan, tidak perlu memiliki kekuatan Susan Storm, tidak juga butuh jubah gaib Harry Potter. Aku bisa menjadi transparan jika ada kamu dalam radius jarak pandangku. Sebisa mungkin aku menghindarimu. Setelah kejadian tempo hari, saat pacar cantikmu mendatangiku. Menangis di hadapanku.


“Ran, apakah kamu menyukai Trisna?” tanyanya dengan mata merah. Pasti dia habis menangisimu. Oh, betapa kamu ini.. berani-beraninya membuat kekasih cantikmu ini menangis.
Aku tidak bisa menjawab. Aku menghindarkan diriku dari kebiasaan berbohong. Hanya tidak mengatakan semuanya. Bukan berarti aku berbohong, kan?
“Kalau memang kamu menyukainya, aku akan mundur, Ran.” Dia rupanya bukan seorang penyabar. “Aku tidak kuat lagi, ini benar-benar menyiksaku.” Aliran air mata terpeta di wajahnya. “Akan kulepas Ran, akan kulepas.” Katanya pasrah.
Aku tidak bisa berkomentar apa-apa. Mengangkat kepalaku pun aku tidak sanggup. Rasanya ada beban berton-ton yang menimpa kepalaku.
“Tadinya kupikir, aku datang kemari aku akan mengamuk di hadapanmu.” Dia mulai bercerita. “Tapi, saat melihatmu, aku jadi berpikir, apa salahmu. Apa salah Trisna. Apakah hati kalian bisa disalahkan? Ini bukan persoalan benar-salah, bukan mencari siapa yang benar dan siapa yang salah. Kamu menyukai Trisna, itu hal yang benar. Trisna menyukaimu juga hal yang benar. Aku menyukai Trisna juga bukan suatu kesalahan.”
Kali ini, mataku membulat. Apa maksud perkataannya.
“Apa maksudmu?” itulah satu-satunya kata yang kuucapkan.
Dia tersenyum, sangat cantik meski wajah tersenyumnya dihiasi linangan air mata. “Jangan lupa, aku masih temanmu.” Katanya, “Meskipun, mungkin untuk beberapa waktu aku tidak ingin bertemu denganmu.”
Dan dia membiarkanku jatuh dalam lubang rasa bersalah.
=.=.=
“Apa sebenarnya maumu?” tanyaku pada akhirnya saat kamu berhasil menemukanku.
Kamu dengan sengaja menungguku di depan pintu kosku. Meski selama ini aku berhasil menghindar, tapi rupanya kamu lebih pintar. Kamu mendahuluiku yang biasanya pergi satu jam lebih awal.
“Kita perlu bicara.”
Disinilah kita, duduk di beranda. Aku diam. Menunggumu berbicara. Tapi kamu masih diam.
“Apa yang kamu lakukan pada Bulan?” tembakku langsung, mulai tidak nyaman dengan keadaan diam yang terjadi ini.
“Aku tidak melakukan apapun. Dia yang memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami.” Jawabanmu defensif.
“Apa yang sudah kamu katakan padanya?” tuntutku.
“Aku juga tidak mengatakan apapun padanya.” Jawabanmu masih membela diri.
“Tapi sikapmu telah mengatakan semua yang ingin dia ketahui. Kamu telah menyakiti perasaannya.”
Aku menghela nafas. Suasana seperti inilah yang selama ini ingin kuhindari.
“Dia sendiri yang memilih untuk mengakhiri hubungan kami.” Kamu mengulangi perkataanmu.
“Tapi kamu penyebabnya. Karena hatimu berubah. Kamu membuatnya merasa tidak lagi penting untukmu.”
Aku tak bisa menahan air mataku. Aku menangis di hadapanmu. Sesuatu yang juga ingin kuhindari, sebenarnya.
“Ini nggak adil, untuk Bulan, untukku, untukmu. Ini sulit.”
=.=.=
Setelah pembicaraan itu, kamu tidak lagi berusaha menemuiku. Bukan hanya aku yang menghindar. Tapi kamu juga menghindariku.
Lagi-lagi kamu mengimbangi sikapku.
Sayangnya, hatiku menghianatiku. Aku merindukanmu. Merindukan dirimu yang dulu. Sebelum semua kekacauan ini terjadi.
=.=.=