sudah kepikiran endingnya mau gimana, tapi kok proses menuju ending itu susah sekalii... -__-
jalanilah saja dulu yang ini... -__-'
happy reading... ^^/
Setelah saling diam selama
sekitar sepuluh menit, tiba-tiba saja Uli berkata, “Din, aku suka sama kamu.”
Dinar tidak mampu berkata-kata,
tidak menyangka Uli akan mengaku padanya sekarang.
“Dari dulu, Din, saat kamu
memukul kepala Aris dengan penggaris hingga penggarismu patah.” Uli larut dalam
kenangannya sendiri.
Dinar ingat kejadian itu. Aris
mengambil penghapusnya tanpa izin, dan Dinar marah besar. Kelas mereka sampai
ramai karena suara teriakan Dinar dan tangisan Aris.
“Saat sadar, aku sudah melihatmu
dengan cara berbeda. Tapi waktu itu, kita masih terlalu kecil, dan melihat
reaksimu saat melihat sobekan kertas waktu itu, aku takut..”
“Kertas? Kertas apa?” Tanya Dinar
tidak sabar, meski dia sudah sudah menebak momen apa yang sedang Uli bicarakan.
“Coretanku, “Uli cinta Dinar”,
kamu ingat?”
“Jadi, dulu itu.. tulisanmu?”
Tanya Dinar kaget.
Uli mengangguk, lalu melanjutkan,
“Dan kamu langsung menghindariku sepanjang sisa tahun ajaran. Baru saat kita
disertakan dalam lomba cerdas cermat, kamu mau berbicara lagi padaku, itupun
jauh dari yang namanya sebuah pembicaraan yang akrab.”
Dinar terkekeh mendengar kalimat
Uli, sedikit meredakan debar jantungnya. “Memangnya seperti apa ‘pembicaraan
yang akrab’ yang kamu maksud, Uli?”
“Jujur saja, Dinar, kamu memang
menghindariku, kan?” Uli balik bertanya.
Dinar menimbang jawaban yang akan
dia sampaikan. Digalinya ingatan akan saat itu. Dinar menghindari Uli,
alasannya karena dia malu. Malu pada sorakan jahil teman-temannya.
“Entahlah. Waktu itu, mungkin
saja aku memang menghindar.”
“Mungkin?” potong Uli tak sabar.
“Dulu, aku bukan anak yang senang
berada dalam sorotan, walaupun aku tidak akan menolak untuk diperhatikan, tapi
harus ada kadarnya. Dan sampai sekarang pun, aku masih seperti itu.” Dinar
mulai bercerita. “Waktu itu, sorotan padaku sudah terlalu banyak.”
Uli mengeluh pelan, “Salahku.”
Komentarnya.
“Sudahlah, Uli, kenapa kita harus
membahas hal ini, ayo kembali.” Putus Dinar, jengah dengan topik pembicaraan
mereka.
“Tunggu dulu, Din,” cegah Uli
kembali memegang tangan Dinar. “Aku mohon tunggulan sampai apa yang mau
kukatakan padamu sanggup kukatakan.” Pintanya memelas.
Sekali lagi, Dinar tak mampu
menolak permohonan dalam sorot mata Uli. Tidak akan pernah.
“Kalau begitu, katakanlah apa
yang mau kamu katakan.” Ujarnya memberi keputusan yangdisambut Uli dengan
senyuman.
“Terima kasih, Din. Aku tahu kamu
memang tidak pernah bisa menolak permohojan,” ujar Uli jahil.
Dinar pura-pura merengut, dan
menjatuhkan pantatnya, duduk diatas pasir pantai. Sengatan matahari tidak
begitu terasa menyengat karena terhalang daun-daun tipis cemara laut. Uli
mengikuti Dinar dan duduk di sebelahnya.
“Apa yang dipikirkan anak-anak
itu, ya?” Tanya Dinar menebak-nebak.
“Tentang?” pancing Uli.
“Aku. Kamu. Kita.” Jawab Dinar
lambat sambil menghela nafas. “Dengan statusmu yang calon suami orang, aku
takut dipandang negatif.”
Uli tertawa mendengar keluhan
Dinar. Membuat Dinar menatapnya tajam dan dia menjadi sadar lalu cepat-cepat
menjelaskan. “Tenang saja, mereka belum kuberitahu kalau aku akan menikah.
Bukankah sudah kukatakan padamu, kamu adalah orang pertama yang kuberi
undangan. Mungkin yang mereka pikirkan adalah kita ini sepasang kekasih.”
Dinar tidak menyukai apa yang
baru saja Uli katakan. Ketidaksukaannya itu lekat terpancar dari sorot matanya.
“Jangan berkata macam-macam. Cepat sampaikan apa yang mau kamu katakan, atau
aku kembali.” Ancamnya tegas.
©©©
to be continue
#now playing: Taylor Swift - Jump and Fall