Jumat, 19 Oktober 2012

Random Project: Cerita Dinar Part#3


sudah kepikiran endingnya mau gimana, tapi kok proses menuju ending itu susah sekalii... -__-
jalanilah saja dulu yang ini... -__-'

happy reading... ^^/



Setelah saling diam selama sekitar sepuluh menit, tiba-tiba saja Uli berkata, “Din, aku suka sama kamu.”
Dinar tidak mampu berkata-kata, tidak menyangka Uli akan mengaku padanya sekarang.
“Dari dulu, Din, saat kamu memukul kepala Aris dengan penggaris hingga penggarismu patah.” Uli larut dalam kenangannya sendiri.
Dinar ingat kejadian itu. Aris mengambil penghapusnya tanpa izin, dan Dinar marah besar. Kelas mereka sampai ramai karena suara teriakan Dinar dan tangisan Aris.
“Saat sadar, aku sudah melihatmu dengan cara berbeda. Tapi waktu itu, kita masih terlalu kecil, dan melihat reaksimu saat melihat sobekan kertas waktu itu, aku takut..”
“Kertas? Kertas apa?” Tanya Dinar tidak sabar, meski dia sudah sudah menebak momen apa yang sedang Uli bicarakan.
“Coretanku, “Uli cinta Dinar”, kamu ingat?”
“Jadi, dulu itu.. tulisanmu?” Tanya Dinar kaget.
Uli mengangguk, lalu melanjutkan, “Dan kamu langsung menghindariku sepanjang sisa tahun ajaran. Baru saat kita disertakan dalam lomba cerdas cermat, kamu mau berbicara lagi padaku, itupun jauh dari yang namanya sebuah pembicaraan yang akrab.”
Dinar terkekeh mendengar kalimat Uli, sedikit meredakan debar jantungnya. “Memangnya seperti apa ‘pembicaraan yang akrab’ yang kamu maksud, Uli?”
“Jujur saja, Dinar, kamu memang menghindariku, kan?” Uli balik bertanya.
Dinar menimbang jawaban yang akan dia sampaikan. Digalinya ingatan akan saat itu. Dinar menghindari Uli, alasannya karena dia malu. Malu pada sorakan jahil teman-temannya.
“Entahlah. Waktu itu, mungkin saja aku memang menghindar.”
“Mungkin?” potong Uli tak sabar.
“Dulu, aku bukan anak yang senang berada dalam sorotan, walaupun aku tidak akan menolak untuk diperhatikan, tapi harus ada kadarnya. Dan sampai sekarang pun, aku masih seperti itu.” Dinar mulai bercerita. “Waktu itu, sorotan padaku sudah terlalu banyak.”
Uli mengeluh pelan, “Salahku.” Komentarnya.
“Sudahlah, Uli, kenapa kita harus membahas hal ini, ayo kembali.” Putus Dinar, jengah dengan topik pembicaraan mereka.
“Tunggu dulu, Din,” cegah Uli kembali memegang tangan Dinar. “Aku mohon tunggulan sampai apa yang mau kukatakan padamu sanggup kukatakan.” Pintanya memelas.
Sekali lagi, Dinar tak mampu menolak permohonan dalam sorot mata Uli. Tidak akan pernah.
“Kalau begitu, katakanlah apa yang mau kamu katakan.” Ujarnya memberi keputusan yangdisambut Uli dengan senyuman.
“Terima kasih, Din. Aku tahu kamu memang tidak pernah bisa menolak permohojan,” ujar Uli jahil.
Dinar pura-pura merengut, dan menjatuhkan pantatnya, duduk diatas pasir pantai. Sengatan matahari tidak begitu terasa menyengat karena terhalang daun-daun tipis cemara laut. Uli mengikuti Dinar dan duduk di sebelahnya.
“Apa yang dipikirkan anak-anak itu, ya?” Tanya Dinar menebak-nebak.
“Tentang?” pancing Uli.
“Aku. Kamu. Kita.” Jawab Dinar lambat sambil menghela nafas. “Dengan statusmu yang calon suami orang, aku takut dipandang negatif.”
Uli tertawa mendengar keluhan Dinar. Membuat Dinar menatapnya tajam dan dia menjadi sadar lalu cepat-cepat menjelaskan. “Tenang saja, mereka belum kuberitahu kalau aku akan menikah. Bukankah sudah kukatakan padamu, kamu adalah orang pertama yang kuberi undangan. Mungkin yang mereka pikirkan adalah kita ini sepasang kekasih.”
Dinar tidak menyukai apa yang baru saja Uli katakan. Ketidaksukaannya itu lekat terpancar dari sorot matanya. “Jangan berkata macam-macam. Cepat sampaikan apa yang mau kamu katakan, atau aku kembali.” Ancamnya tegas.
©©©

to be continue

#now playing: Taylor Swift - Jump and Fall